Rabu, 22 Agustus 2018

Hukum Vaksinasi oleh Ust. Shiddiq Al Jawi

0

*HUKUM VAKSINASI*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum vaksinasi! (Bunga, Jember).



Jawab :

Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi dapat disebut juga imunisasi, yaitu proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Tetapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi, karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi. Misalnya pemberian ASI oleh seorang ibu kepada bayinya yang dapat membantu meningkatkan kekebalan pada bayi. Jadi vaksinasi itu bagian dari imunisasi, sedang imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya.

Hukum vaksinasi secara syar’i adalah sunnah (mandub/mustahab), karena termasuk dalam aktivitas berobat (at tadaawi) yang hukumnya sunnah asalkan memenuhi memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu; pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis seperti enzim babi. Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi.

Mengenai sunnahnya berobat, dalilnya adalah perintah berobat seperti dalam sabda Rasulullah SAW,”Sesungguhnya ketika Allah menciptakan suatu penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah.” (HR. Ahmad).

Tetapi perintah berobat ini bukan perintah wajib, melainkan perintah sunnah karena terdapat beberapa qarinah (petunjuk) di antaranya hadits Ibnu Abbas ra, ia berkata,”Seorang wanita berkulit hitam pernah menemui Nabi SAW sambil berkata,’Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap [ketika sedang kambuh], maka berdoalah kepada Allah untukku.” Nabi SAW bersabda,“Jika kamu mau, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu mau, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Wanita itu berkata,“Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi,“Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW mendoakan untuknya.” (HR Bukhari). Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat, sebagaimana taqrir (persetujuan) Nabi SAW terhadap wanita tersebut yang memilih bersabar.

Jika perintah berobat di atas digabungkan dengan qarinahtersebut, diperoleh kesimpulan perintah berobat yang ada bukanlah perintah tegas (jazim), yaitu wajib, melainkan perintah anjuran (ghairu jazim), yaitu sunnah. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah yang kami anggap rajih (lebih kuat) dalam masalah ini, berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang mengatakan berobat itu mubah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XI/117).

Berdasarkan hukum sunnahnya berobat inilah, maka vaksinasi dihukumi sunnah karena vaksinasi termasuk dalam aktivitas berobat, khususnya pengobatan preventif (al thibb al wiqaa`iy) yaitu pengobatan sebagai pencegahan sebelum munculnya penyakit.

Adapun syarat pertama bahwa bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis, karena telah terdapat larangan syariah untuk berobat dengan zat yang haram/najis, meski larangan ini adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Sabda Nabi SAW, ”Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/116; Abdul Fattah Mahmud Idris, Qadhaya Thibbiyyah min Manzhuur Islami, hlm.39-43; Shalih Abu Thaha, At Tadaawi bi Al Muharramat, hlm. 39-41).

Sedangkan syarat kedua bahwa vaksinasi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi, dikarenakan terdapat larangan untuk menimbukan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai hadits Nabi SAW,“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain.” (Arab “laa dharara wa laa dhiraara”). (HR Ahmad).  Wallahu a’lam.[] M Shiddiq al Jawi

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204

Tanya Jawab Seputar Idul Adha dengan Syeih Dr. Abdurrahman Al Baghdadi

0

TANYA JAWAB BERSAMA SYAIKH DR. ABDURRAHMAN AL-BAGHDADI

*Pertanyaan 01:

Bagaimana mengkompromikan keyakinan rukyat global dan lokal demi kemaslahatan dakwah? Misal Da'i lebaran tgl 21, tapi punya jadwal khatib/imam Ied tgl 22

*Jawaban 01:

Kemashlahatan dakwah tidak dilihat dari segi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, tapi harus bertolak dari sudut pandang hukum syariat Islam. Islam tidak membenarkan seseorang bermuka dua alias munafik di hadapan Allah. Ia sudah sholat Ied. Tapi di hadapan manusia belum sholat, bahkan menjadi Khotib dan Imam sholat Ied.  Padahal suatu sholat wajib tidak bisa dilaksanakan dua kali. Sholat sunnah pun seperti sholat witir, Nabi melarang untuk melakukan dua kali witir dalam satu malam. Solusinya adalah dia harus mundur jadi Khotib dan Imam atau hanya menjadi Khotib tanpa menjadi Imam ataupun makmum, di belakang Imam lainnya. Dia harus katakan apa adanya di dalam khutbahnya berikut alasannya agar tidak disalahkan oleh masyarakat.

===========================================

*Pertanyaan 02:

Jadi intinya kalo sudah shalat ied di tanggal 21, maka tidak boleh untuk jadi imam/khatib pada ied yang ditetapkan tgl 22 begitu ya ustadz?

*Jawaban 02:

Betul..tidak boleh jadi Imam kecuali dengan cara di atas yang sudah dijelaskan, tapi sikap seperti ini akan menimbulkan kontra...sebaiknya dihindari.

===========================================

*Pertanyaan 03:

Bisakah trima undangan imam khatib id  selama idnya tidak pasti

*Jawaban 03:

Lebih baik kita menghindarkan diri dari syubhat agar tidak jatuh dalam perbuatan yang tidak dibenarkan. Apalagi kalau sikap pemerintah dalam menentukan hari raya Iedul Adha di hari yang berbeda sering terjadi dan ulama tidak meluruskan kekeliruan dalam penetapan tgl 1 Dzulhijjah dengan berdalih berbagai alasan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum.

===========================================

*Pertanyaan 04:

Sholat ied pada hari Tasrik berarti tdk dibenarkan ya?
Misalnya kita tidak dapat lokasi terdekat saat sholat ied

*Jawaban 04:

Sholat Ied dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan pelaksanaannya pada hari tasrik karena sudah lewat waktunya. Waktunya yaitu di pagi hari tgl 10 Dzulhijjah. Kita tahu bersama bahwa setiap sholat sudah ditetapkan waktu pelaksanaannya oleh Allah Swt. Misalnya sholat jumat pada hari jumat, tidak dibenarkan dilaksanakan pada hari sabtu dengan alasan adanya banjir atau gempa dan alasan lainnya.

===========================================

*Pertanyaan 05:

Kalau tgl 9 Dzulhijjah, para jamaah haji melakukan aktivitas wuquf di Arafah, maka selain puasa Sunnah hari Arafah, apa yang sebaiknya muslim lain (yang tidak berhaji) lakukan sebagai bentuk ibadah terbaik?

*Jawaban 05:

Memperbanyak zikir, takbir, tahlil dan tahmid. Memperbanyak doa, memohon ampunan atas semua dosa yg telah dia lakukan di masa lampau, disamping perbanyak shodaqoh atau nazar dan wakaf, kalau memiliki harta yg banyak.

===========================================

*Pertanyaan 06:

Menyikapi perbedaan hari Raya Idul Adha tahun ini, yang berdampak pada pelaksanaan shaum Sunnah Arafah yang berbeda hari. Ada yg membolehkan dgn alasan itu bukan puasa di Hari Raya, tapi puasa 9 Dzulhijah. Sehingga tetap dilaksanakan sesuai hitungan yang disepakati negara masing-masing yg berbeda dgn penetapan dari pemerintah Saudi Arabia. Sehingga bagi penduduk yg negaranya berbeda dgn Saudi bisa berpuasa. Benarkah pernyataan atau anggapan tsb?

*Jawaban 06:

Pendapat tersebut tidak benar dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat atau lemah. Bahkan mencoba mengikuti keinginan (hawa nafsu) ormas-ormas Islam maupun penguasa di seluruh dunia, agar masyarakat tetap percaya pada tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin mereka. Kalau kita masih hidup di abad ke 2, 3 dst… dimana berita ttg rukyat tidak bisa disampaikan ke seluruh pelosok bumi dalam waktu 7 hari sebelum hari Tarwiyah dan Arofah, maka zaman dulu kaum muslimin di negeri- negeri yang jauh masih punya alasan untuk berbeda dalam pelaksanaan Iedul Adha karena belum memiliki alat-alat transporatsi atau komunikasi yg canggih. Tapi alasan seperti ini tidak bisa diterima pada zaman sekarang dikarenakan alat telekomunikasi sudah canggih, dimana berita tentang rukyat hilal dari Arab Saudi misalnya bisa diterima oleh kaum muslimin seluruh dunia dengan hitungan beberapa detik, maka tidak ada alasan di hadapan Allah untuk berbeda.

===========================================

*Pertanyaan 07:

Sejak kapan (tahun brp) disyariatkan kpd Nabi SAW "puasa Arafah dan shalat idul adha"?

*Jawaban 07:

Sejak mulai diwajibkan pelaksanaan ibadah haji, yaitu setelah ditaklukan kota Makkah pada tahun 8 Hijriyah, kemudian pada tahun ke 9 diberangkatkan rombongan haji pertama dari Madinah dipimpin oleh Amirul Hajj Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq. Kemudian pada tahun ke 10 diumumkan kepada kaum muslimin di seluruh jazirah Arab bahwa Rasulullah Saw akan berangkat haji, maka dianjurkan sejak tahun ke 9 Hijriyah untuk puasa Arofah bagi selain jamaah haji.

===========================================

*Pertanyaan 08:

Bagi jamaah haji yg sdg wukuf di arafah disunnahkan tdk berpuasa ya?

*Jawaban 08:

Betul. Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan

.عن أبي نجيح قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة فقال : حججت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يصمه ومع أبي بكر فلم يصمه ومع عمر فلم يصمه ومع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا آمر به ولا أنهى عنه

Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751, Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].[2]

عن أم الفضل بنت الحارث : أَنَّ نَاساً تَمَارَوا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ بَعضُهُمْ : هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ.

Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].

===========================================

*Pertanyaan 09:

Kalau tidak ada tempat sholat Id yg bisa djangkau...mending tidak ikut sholat pada hari esok...ya ustadz?

*Jawaban 09:

Betul...sikap seperti itu tidak berdosa...sholat Ied tetap hukumnya sunnah muakkadah/sangat dianjurkan jika ada warga yg melaksanakannya. Jika tidak Allah Maha Tahu, yang berdosa bukan kita, tapi pemimpin dan ulama yg mendukungnya dan menimbulkan kekacauan seperti ini

===========================================

*Pertanyaan 10:

Apakah benar dahulu di Saudi krn ada masalah politik sehingga thn tsb tdk ada hajji, namun walaupun tdk ada yg wukuf di arafah tetap ada puasa arafah. jadi puasa arafah itu krn tgl 9 dzulhijjah nya bukan karena ada wukuf nya?

*Jawaban 10:

Informasi ini tidak tepat, tidak pernah terjadi sepanjang masa ibadah Haji tidak dilaksanakan.  Tapi tahun kemarin, Iran mengumumkan ibadah Haji dipindahkan ke kota Karbala di Iraq. Yang tidak berhaji adalah orang-orang  Syiah yang berasal dari Iran, Pakistan, dll.

Oleh karena itu, wukuf di Arofah tetap ada sejak masa Nabi, sampai masa sekarang, maka tetap dianjurkan puasa di hari Arofah. Bukan dengan alasan tgl 9 Dzulhijjah yang bisa berbeda antar negara berdasarkan perbedaan mathla’ atau hisab.

===========================================

*Pertanyaan 11:

Kalau tidak jadi imam, bolehkah jadi makmum dalam sholat Ied yang berbeda hari raya?

*Jawaban 11:

Tidak boleh jadi makmum. Nanti bisa dikatakan munafik, karena sudah sholat di hari sebelumnya dan sholatnya sudah dicatat oleh malaikat.

====
Cari buku bisnis dan buku Islam Populer? Sila join dan cek katalog bukunya di channel @ahzabookstore

Bolehkah Puasa Arofah beda dengan Wukuf Arofah oleh Ust. Shiddiq Al Jawi

0

BOLEHKAH PUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN WUKUF DI ARAFAH?

Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut :

Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah. Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan bahwa “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah. (Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar’i untuk “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-‘arafah). Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih)oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta` Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ, ”Arafah adalah hari yang kamu kenal.” (’arafah yauma ta’rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no 4224).

Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah ﷺ, ”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’).

Yang lebih tepat, perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilaf al mathali’), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain. Barulah kemudian jika Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.

Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali رضي الله عنه dari Jadilah Qais, dia berkata, “Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, ”Rasulullah ﷺ telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, ”Hadis ini shahih.”).

Metode Penentuan Idul Adha oleh Ust. Shiddiq Al Jawi

0

METODE PENENTUAN IDUL ADHA

Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi, MSI*


Penentuan Idul Adha (10 Dzulhijjah) bergantung pada penentuan awal bulan Dzulhijjah. Dalam hal ini para fuqaha sepakat, bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah hanya didasarkan pada rukyatul hilal saja, bukan dengan hisab.

Ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnya Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah,”Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar/patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah….” (Abdul Majid al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 198).

Dalilnya adalah dalil-dalil umum bahwa metode standar untuk menentukan awal bulan-bulan Qamariyah adalah rukyatul hilal saja. Misalkan hadits Nabi SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal.” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasai no 2087). (Lihat Abdul Majid al-Yahya, ibid., hal. 199; Ahmad Muhammad Syakir, Awail al-Syuhur Al-Arabiyah, hal.4; Fahad Al-Hasun, Dukhul al-Syahr al-Qamari, hal. 14).

Berdasarkan hadits-hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisab al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran untuk menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi, Ibnu Hajar, Al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan Syaukani. (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 25/132; Fathul Bari, 4/158; Tafsir al-Qurthubi, 2/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/408; Bidayatul Mujtahid, 2/557).

Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan utama adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.

Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata,“Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).

Hadits ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq, adalah Amir Makkah (penguasa Makkah), bukan yang lain. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, kewenangan itu tetap dimiliki penguasa Makkah7 sekarang (Saudi Arabia), meski sistem pemerintahannya berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.

Kesimpulannya, penentuan Idul Adha ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal, bukan hisab. Hanya saja, rukyat yang diutamakan adalah rukyat penguasa Makkah. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah diamalkan rukyat dari negeri-negeri yang lain. Wallahu a’lam.

* Mudir Ma'had Hamfara Yogyakarta

====
Cari buku bisnis dan buku Islam Populer? Sila join dan cek katalog bukunya di channel @ahzabookstore

Idul Adha : Umat Rindu Ulama dan Umaro Pemersatu

0

Idhul Adha : Umat Rindu Ulama dan Umaro Pemersatu
Nurul Sakinah Bayti, S.Hut.
Member Developer Property Syariah

Mahkamah Ulya Arab Saudi pun sudah mengumumkan bahwa Minggu, 12 Agustus 2018 adalah 1 Zulhijah 1439 H. Dengan penetapan ini, maka di Saudi, Hari Arafah 9 Zulhijah akan bertepatan pada Senin, 20 Agustus 2018.
Sementara, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama berdasar hasil sidang isbat, menetapkan 1 Zulhijah 1439 H jatuh pada Senin, 13 Agustus 2018. Sehingga, hari raya Idul Adha dilaksanakan pada Rabu, 22 Agustus 2018. (www.liputan6.com/20 Agustus 2018)
Tak Hendak Mendebat Keputusan
Secara awam akan banyak tanya, ketika pengumuman terkait penetapan 1 Dzulhijah yang berbeda. Versi Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun angkat bicara. Menurutnya, penetapan waktu ibadah di Indonesia bersifat lokal, bukan global, mengikuti wilayatul hukmi mencakup MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura).
"Untuk ibadah, terutama salat dan puasa, kita merujuk pada waktu lokal, sehingga perbedaan waktu, jam, termasuk hari, kita mengikuti wilayah di mana kita berada," ujar Lukman.
Adapun versi pendapat yang mengikuti keputusan Pemerintah Arab Saudi pun tak kalah kuatnya dalam berhujah.
Menurut Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnya Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah,”Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar/patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijah….” (Abdul Majid al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 198).
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijah yang terkait dengan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan utama adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata,“Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).
Umat Rindu Penguasa Pemersatu
Perbedaan seputar pemahaman Islam sering terjadi di negeri ini. Umat kerap kali dibuat bingung ketika menyikapai perbedaan ini, bahkan dalam mengambil keputusan. Terlebih saat berkaitan dengan hal-hal pokok dalam ibadah. Misalnya dalam Idul Adha tahun ini.
Saat umat mulai sadar, pentingnya berpegang pada Islam. Islam tak hanya sebagai keyakinan, namun sebegai peraturan hidup. Saat itulah kecerdasan umat pun mulai tumbuh. Sikap kritis umat terhadap setiap kebijakan Penguasa yang dirasa berbeda dengan keyakinannya akan muncul. Bagi umat yang berani, akan langaung menyampaikan sikap kritisnya sekalipun melalui beranda dunia maya. Karena dunia maya, memang ajang untuk berargumen dan menyuarakan kebenaran bagi yang ingin perbaikan.
Namun perbedaan tetap akan menjadi perdebatan, sekuat apapun menyampikan hujah dalilnya. Karena yang duduk dalam perintahan pun tak miskin ilmu. Punya banyak dalil dan alasan dalam pensikapan beberapa persoalan.
Ketika pijakannya sama-sama kepada dalil. Pastinya ada dalil yang lebih rajih dan kuat. Pada saat inilah umat butuh ulama dan umaro (penguasa) yang bisa menyatukan perbedaan. Ulama yang menjadi benteng umaro dengan menetapkan hukum secara benar berdasarkan dalil yang rajih. Umaro yang akan menerapkan hukum yang benar sehingga umat tak dibuat bingung. Ulama dan umaro yang benar-benar hanya takut kepada Alloh SWT. Tak ada kepentingan duniawi dalam menetapkan setiap keputusan hukum.
Sebagimana nasehat Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Semoga Alloh SWT menjaga ulama-ulama kita agar tunduk hanya kepada Alloh SWT. Ulama yang dirindu oleh umat sebagai penjaga dan pengawal hukum Alloh SWT. Sehingga melalui ulama yang taat inilah akan melahirkan penguasa yang lurus.Yang hanya takut kepada Alloh SWT. Dan hanya tunduk dan berhukum pada Alloh SWT.

Selasa, 14 Agustus 2018

Hukum Seputar Fidyah Puasa oleh Ust. M. Shiddiq Al Jawi

0

Hukum Seputar Fidyah Puasa /

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

#Fiqh | Tanya: Ustadz, mohon dijelaskan tentang fidyah puasa, khususnya mengenai bentuk dan caranya. (Abu F, Tangerang).
Jawab: Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha', hlm. 260).

/ Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? /
Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan;

#Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya.
Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184).

Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar'ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni).

Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

#Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah.
Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut.

Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

#Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha' puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha' puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).

/ Cara Membayar Fidyah /

Cara membayar fidyah dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa. Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya.

Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu). Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).
Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah: 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah, “fidyatun tha’aamu miskin.” Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178). Wallahu a’lam.[]

Rabu, 08 Agustus 2018

Isuk Dele Sore Tempe

0

Isuk Dele Sore Tempe
Nurul Sakinah Bayti, S.Hut. (Wirausaha & Member Developer Property Syariah)

Aneh bin ajaib mendera negeri mayoritas muslim ini. Negeri yang Alloh karuniai sumber daya alam yang melimpah. Dengan jumlah penduduk yang besar, hampir 200 juta lebih. Namun tak nampak rasa syukur yang muncul dari lisan bangsa ini. Justru kecurigaan muncul dari kalangan sesama muslim sendiri. Menganggap masjid sebagai biang penyebar radikalisme. Sungguh aneh.

Jakarta - Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) menyesalkan temuan Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Survei lembaga itu, mengungkapkan ada 41 masjid di lingkungan kantor kementerian, lembaga negara dan BUMN digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan radikalisme dalam khotbah jumat. Liputan 6.com.

Dalang Sekukerisme

Cara berpikir sekulerisme, memisahakan peran agama dalam mengatur kehidupan telah menjadi penyakit negeri muslim ini. Umat Islam justru alergi dengan aturan Islam. Saat menjalankan sholat tunduk diatur dengan Islam. Namun diluar sholat, meninggalkan aturan Islam. Ketika menikah menggunakan hukum Islam. Namun setelah menikah enggan berhukum dengan Islam.

Seolah Islam dipandang sebagai aturan yang berhubungan dengan urusan ibadah semata. Sementara dalam urusan pendidikan, ekonomi dan pemerintahan tak sedikitpun Islam digunakan. Dalam berakhlak menggunakan Islam. Namun masih menjamur juga praktek korupsi. Penjualan aset rakyat ke asing. Mengaku berpihak pada rakyat, malah mencekik rakyat. Kenaikan harga BBM buktinya. Langkah dzolim yang dilakukan penguasa dan telah mengkhianati janjinya terhadap rakyat.

Banyak yang harus dikoreksi dalam kehidupan bangsa ini. Muncul ungkapan atas kecurigaan terhadap masjid. Masjid dituduh menyampikan pesan radikalisme. Mengapa terjadi? Sesungguhnya arah pernyataan itu ke mana? Apakah ingin mengkerdilkan fungsi dan peran masjid ? Atau jangan-jangan ada kepentingan "politik" yang tersembunyi di balik ungkapan tersebut.

Waspada Tahun Politik

Di tahun politik ini, apapun akan dimanfaatkan bagi yang berkepentingan. Akan membuat pernyataan-pernyataan yang dinggap mampu menaikkan pamor. Menaikkan dukungan terhadapnya. Terlebih kalau sudah berkaitan dengan kepentingan "parpol" akan dilakukan segala cara, sekalipun menyakiti hati rakyat. Bahkan melukai perasaan umat Islam sendiri.

Bak pepatah jawa, isuk dele sore tempe (paginya kedelai, sorenya menjadi tempe). Perubahan sikap secara mendadak karena ada kepentingan. Awalnya membela Islam. Eh, sorenya berbalik arah berkoalisi dengan penista agama Islam.
Tak ada kawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Politik sudah tercemari dengan kepentingan duniawi semata. Seolah menjadi hal biasa orang menjadi munafik. Bermuka dua. Na'dzubillah.

Berharap kebaikan dalam sistem yang sudah rusak, ibarat bermimpi di siang bolong. Tak akan pernah berpadu kebaikan dengan kebatilan. Tak bisa bercampur minyak dengan air. Hitam dan putih sangatlah jelas.


Sistem Islam yang diturunkan dari Robb, Pencipta Semesta Alam. Al Kholiq, Al mudabbir. Yang dengan diterapkannya akan sejahteralah rakyatnya. Akan makmur & tentram hidupnya. Sebagaimana gambaran penerapan sistem Islam yang telah dilakukan oleh Rosululloh Saw di Madinah. Niscaya sistem ini akan tegak kembali atas ijinNya. Insyalloh.

Medsos : Surgaku atau Nerakaku

0

Medsos : Surgaku atau Nerakaku
Nurul Sakinah Bayti, S.Hut. (Member Developer Property Syariah)

Media sosial (Medsos) seolah menjadi dunia baru era now. Hampir semua kalangan menjadi penggunanya. Tua muda. Petani pengusaha. Rakyat jelata hingga pengusa pun turut asik menjadi bagian dari kehidupan medsos ini.
Bisa berteman dengan banyak orang. Kenal secara langsung, bahkan tak kenal pun bisa berteman. Mulai teman sekolah, teman sedaerah sampai lintas negara pun pertemanan bisa dilakukan. Bagi pengguna facebook misalanya, pertemanan bisa mencapai angka 5000 orang. Beda halnya dengan pengguna twitter, pertemanan jauh lebih banyak bisa puluhan ribu hingga jutaan. Ini yang menjadikan medsos digandrungi semua kalangan.

Kepentingan penggunaan medsos pun banyak variasi. Sekedar untuk komunikasi, silaturahmi, bisnis, hingga strategi pencitraan menggaet masa sasaran. Masih terlintas dalam benak, pencitraan saat musim kampanye 2014. Seseorang kepala daerah di kota Solo yang awalnya tidak tenar di telinga, seolah disulap menjadi terkenal melalui mobil esemka. Berbagai kebijakan lokal diunggulkan . Merakyat. Blusukan ke daerah terpencil. Citra ini pun melambung sampai menaikkan popularitasnya dan menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Nyata atau tidak kondisinya. Dusta atau benar omonganya. Akan terasa sulit dibuktikan dalam dunia medsos ini. Tak jarang banya orang yang memanfaatkan medsos ini untuk kepentinga-kepentingan sepihak. Untuk menaikkan pamor hingga gaya hidup glamour. Ini yang disebut pisau bermata dua. Bisa dimanfaatkan untuk kebaikan sekaligus bisa untuk keburukan. Ketika tak pandai mensikapi, justru akan semakin menjerumuskan.

Tingginya angka kejahatan, pemerkosaan, penculikan bahkan pembunuhan pun bisa bermula dari medsos. Ketika tak ada aturan yang membatasi dunia medsos, orang dengan mudah mengunggah semaunya. Bahkan tayangan porno pun akan mudah diakses. Ini yang menjadikan birahi orang-orang yang imannya tipis akan naik. Walhasil, berlanjut kencan, hingga perkosaan. Tak mau aib tersebar, hingga tega melakukan pembunuhan. Astaghfirulloh.

Beramal dengan Ikhkas dan Benar

Dunia dan segala gemerlapnya adalah ujian. Keindahan dunia hanya indah dipandang mata. Harta, pangkat dan jabatan hanyalah titipan. Tak pantas ketika diri menjadi jumawa. Pamer kekayaan. Pamer kemesraan. Pamer ketenaran. Seolah haus sanjungan hingga pujian orang lain.

Alloh Maha Indah. Alloh Maha Baik. Hanya akan menerima amal manusia yang baik-baik. Baiknya amal tergantung pada Alloh. Dan buruknya amalpun ditentukan oleh Alloh. Disinilah Islam memberikan kriteria amal seseorang apakah dianggap baik atau sebaliknya.

Kriteria amal yang dikatakan baik menurut Alloh pertama adalah niat ikhlas. Ketika manusia saja tak mau diduakan dengan yang lain. Tak ingin dibandingkan. Apalagi Alloh yang telah menciptakan hidup dan manusia. Alloh hanya menginginkan seorang hamba beramal untukNya. Berniat bukan karena Alloh, berarti telah membandingkan Alloh dengan makhlukNya. Perbuatan ini yang dibenci oleh Alloh.

Rasulullah saw bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya“ (H.R Ahmad dalam Musnad-nya. Dihasankan oleh Al Albani Shahiihul Jami’ no.2604)

Kriteria kedua adalah caranya benar. Benar menurut tuntunan Alloh. Mengikuti teladan Rosulloh saw. Rosul adalah teladan terbaik yang telah Alloh pilih. Setiap perbuatannya, perkataannya bahkan diamnya adalah teladan. Inilah yang dikatakan sunnah/hadits
Sekalipun dunia medsos bisa menipu. Bahkan bisa dipoles sedemikian rupa untuk popularitas. Namun manusia tak bisa menipu Alloh.

 Pertanggungjawaban hamba dihadapan Alloh terus berlangsung. Siapa yang menanam pasti akan menuai. Ketika hasil tanaman di dunia baik dan benar, maka tempat terbaik yang akan Alloh berikan, yaitu Surga. Demikian sebalikanya, ketika yang ditanam keburukan maka akan peroleh tempat kembali yang buruk yaitu Neraka.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikaplah yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran. Dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya”. Para sahabat bertanya, “Termasuk engkau, wahai Rasûlullâh?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk aku, hanya saja Allâh meliputi diriku dengan rahmat dan karunia-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Ath-Thabrani dll).