Minggu, 27 Mei 2018

Mendamba Mubaligh Pewaris Nabi

0

Mendamba Mubalig Pewaris Nabi

Nurul Sakinah Bayti, S.Hut  (Pembina Kajian Muslimah & Wirausaha)

Daftar 200 mubalig yang direkomendasikan oleh  Kemenag banyak mengundang pro kontra di masyarakat. Sekalipun demikian Kemenag tidak akan mencabut 200 nama mubalig, bahkan akan menambah lagi deretan mubalig-mubalig lainnya yang direkomendasikan.

TEMPO.COM, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan tidak akan mencabut daftar 200 nama mubalig yang dirilis Kementerian Agama beberapa waktu lalu. "Sifat rilis itu adalah dalam rangka kami menjaga, menjawab permintaan masyarakat. Masyarakat itu kan kami beri. Masa sesuatu yang mereka harapkan lalu kemudian kami cabut lagi, kan tidak pada tempatnya," kata Lukman di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 22 Mei 2018.

Kemenag Berpihak ke Siapa?

Bukan tanpa alasaan ketika masyarakat banyak yang kontra terkait pengumuman Kemenag tersebut. Karena selama ini Kemenag yang merupakan kementrian agama yang hadirnya untuk melindungi hak-hak rakyat. Penjagaan terhadap penyebaran Islam, sebagai agama mayoritas negeri ini lebih condong berpihak pada pemerintah. Ya, hanya mengikuti arahan dan permintaan pemerintah.

Sebelum ini  sempat ada kabar yang menghebohkan ketika pemetintah melalui  menteri agama mengumumkan akan menggunakan dana haji guna pembangunan infrastruktur. Dengan alasan agar dana tersebut lebih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Bahkan dana wakaf masjid pun sempat dilirik juga oleh pemerintah.

Ketika rilis hanya 200 mubalig yang layak untuk melakukan pengisian ceramah di 80.000 masjid seluruh indonesia. Berarti 1 mubalig mengisi 400 masjid ? Padahal agenda masjid sangat banyak. Untuk khutbah jumat saja setiap pekan sekali. Bagaimana mungkin 1 orang mengisi 400 masjid dalam waktu yang bersamaan?

Banyak yang mengkhawatirkan rilis yang dikelurkan Kemenag ini untuk mengkotak-kotak mubalig yang pro dan kontra penguasa. Karena ada juga beberapa mubalig yang secara pengakuan keilmuan keislaman bagus. Lebih dikenal masyarakat, namun tidak masuk dalam daftar 200 rilis mubalig. Sebut saja Ustd. Abdul Somad, Ustd. Habib Rizieq Shihab, dan Ust. Felix Siaw yang lebih akrab dan dekat dengan umat. Namun buktinya tak masuk dalam rilis 200 mubalig.

Meluruskan Peran Mubalig

Mubalig adalah orang yang menyampaikan syiar Islam. Mencerdaskan umat dengan ilmu dan pemahaman Islam. Sehingga umat semakin dekat dengan Alloh dan selalu mengambil solusi Islam dalam setiap hidupnya. Berikut peran mubalig yang seharusnya menjadi kriteria dan harus ada pada orang-orang terpilih yang seharusnya dirilis pemerintah, dalam hal ini Kemenag diantarnya :

Pertama, mubalig atau ulama sebagai pewaris nabi. Peran mubalig bukan hanya menguasai khasanah pemikiran Islam, baik yang ,menyangkut aqidah dan syariah. Namun juga bersama umat berupaya menerapkan, memperjuangkan risalah Alloh. Mubalig juga terlibat aktif dalam perjuangan untuk merubah realitas masyarakat yang rusak, yang bertentangan dengan warisan Nabi saw.”Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang–bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kedua, para mubalig atau ulama adalah pembimbing, pembina dan penjaga umat serta memberi petunjuk dan menerangi umat sehingga umat tertunjuki pada jalan yang benar. “Ulama adalah pelita dunia. Ulama adalah pelita alam “ (HR. Abu Daud, Nasa’I dan Baihaqi)

Ketiga, sumber ilmu. Mubalig adalah orang yang fakih dalam masalah halal haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan diatas tuntunanAlloh dan RosulNya.

Keempat, mengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama dan mubalig mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga mampu menyingkap makar dagan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum muslim. Dengan kata lain, mubalig harus memiliki visi politis–ideologis, sehingga umat akan terjaga dari kebinasaan dan kehancuran. Rosululloh saw bersabda : “ Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang dzalim, lalu menasehatinya, kemudian ia terbunuh”.

Mubalig adalah figur sentral yang sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat. Mereka memiliki andil besar apakah suatu masyarakat dalam kabaikan atau keburukan. Jika mereka menjalankan tugasnya dengan baik, niscaya umat menjadi baik. Jika mereka abai terhadap tugasnya, niscaya umat menjadi rusak.

Semua ini memerlukan kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Disinilah pentingnya ulama dan mubalig untuk terus mengasah kepekaan dan kesadaran politiknya. Dengan kiprah politik ulama dan mubalig, rakyat akan terbina dengan baik serta akan memilki kesadaran Islam. Hingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akherat. Amin. Wallahu a’lam

Kamis, 24 Mei 2018

Sekulerisasi Masjid

0

Sekulerisasi Masjid
Nurul Sakinah Bayti, S.Hut. (Motivator)

Saatnya masjid menjadi sorotan. Padahal awalnya apapun kegiatan bisa dilakukan di masjid. Mulai dari obrolan seputar keluarga sampai masalah ke negara. Diskusi masalah ringan hingga masalah yang paling serius sekalipun. Semuanya tak masalah dilakukan di masjid.

Namun saat ini fungsi masjid dipolitisasi. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan meminta takmir masjid menjadi garda terdepan dalam membentengi tempat ibadah dari paham radikal maupun politik praktis. Tujuannya, agar masjid tidak menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian, terutama menjelang tahun-tahun politik. (Sabtu, 28/04/2018)

Mengamputasi Islam

Banyak hal yang bisa dilakukan di masjid. Acara pengajian, pembinaan ummat dan diskusi keislaman. Diskusi seputar ibadah, problem hidup bahkan diskusi politik. Menjadi sah-sah saja.

Menganggap masjid sebagai tempat beredarnya paham radikalisme adalah fitnah. Bahkan menjadikan masjid hanya untuk urusan sholat, sama saja mengkerdilkan fungsi masjid. Menjadikan masjid untuk fungsi ibadah semata, adalah cara mengamputasi terhadap islam.

Tuduhan masjid menjadi tempat paham radikalisme serasa mengada-ada. Radikalisme ketika diidentikkan denga gerakan islam radikal atau islam garis keras, justru fitnah yang tanpa dasar. Karena radikalisme sering menjadi isu yang dimunculkan di tengah kita.

Ketika islam dianggap sebagai sumber radikalisme, sejatinya isu ini ingin menjauhkan islam dari kehidupan. Sehingga banyak orang merasa takut ketika belajar islam lebih serius. Ini bentuk penjajahan dalam islam. Yang dampaknya banyak ajaran-ajaran islam yang ditinggalkan ummat. Ummat hanya mengambil ajaran islam yang sifatnya ritual saja.

Menjadikan fungsi masjid sebatas sholat inilah yang dikehendaki. Ingin menjauhkan ummat dari fungsi masjid yang sesungguhnya. Ketika ummat sudah menjauh dari aktivitas-aktivitas masjid. Dampaknya ummat tidak lagi menjadikan islam sebagai pengatur hidup. Islam tinggal namanya saja. Sementara ajarannya semakin jauh dari kehidupan masyarakat.

Politisasi Masjid

Makna politik sesungguhnya adalah pengaturan urusan ummat baik di dalam negeri atau luar negeri berdasarkan hukum syariat. Politik yang mencakup semua aspek hidup. Tidak ada pembatasan.
Membicarakan hal politik dalam masjid menjadi hal biasa. Karena kebutuhan ummat semakin mendesak. Problem ummat semakin banyak. Dan semuanya membutuhkan solusi. Inilah yang dikatakan politik.

Politik adalah bagian dari islam. Dan islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Ketika melarang ummat islam berpolitik, walhasil akan semakin menumpuk beban hidup yang dirasakan unmat.

Melarang ceramah politik di dalam masjid, adalah bentuk politisasi islam. Urusan politik merupakan urusan rakyat. Pembatasannya akan menyebabkan hilangnya fungsi  politik ummat. Bahkan semakin jauhnya solusi ummat
Menjauhkan ummat dari politik adalah bentuk pembodohan. Masalah pada ummat akan terselesaikan ketika ummat paham politik. Paham tanggungjawab negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Ketika ummat diam, maka negara menjadi lalai. Bahkan abai terhadap kepentingan rakyatnya.

Sekukerisasi di masjid sudah merambah. Menjadikan masjid sebagai tempat suci yang hanya mengatur hubungan dengan Pencipta adalah keliru. Masjid hanya dimanfaatkan untuk aktifiktas ibadah semata. Menghindari masjid dari berbicara politik, bentuk keberhasilan sekulerisme. Paham yang ingin memisahkan agama dari kehidupan. Menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Sementara probem ummat disolusikan dengan selain islam.

Dalam islam agama dan politik ibarat saudara kembar. Imam Al ghozali berkata : " Agama adalah pondasi. Dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh. Dan segala sesuatu  yang tanpa penjaga niscaya akan hilang.

Sayangnya apa yang dipesankan oleh imam Al Ghozali saat ini tidak dilaksanakan. Problem umat semakin bertambah. Gambaran solusi jauh dari benak ummat. Umat semakin terpuruk pada kehancuran.
Sekulerisme inti masalahnya. Termasuk larangan membicarakan masalah politik di dalam masjid adalah dampak dari sekulerisasi masjid dalam kehidupan. Umat harus paham dan waspada.

Mengembalikan fungsi masjid sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rosululloh saw menjadi hal penting. Masjid menjadi pusat ibadah sekaligus pusat menyelesaikan masalah ummat. Bahkan di masa Rosul pun masjid menjadi tempat untuk menerima delegasi-delegasi negara lain. Masjid menjadi pusat pemerintahan. Dan masjid juga menjadi pusat kegiatan politik kenegaraan. Inilah fungsi masjid yang harus dikembalikan umat islam.

http://www.remajaislamhebat.com/2018/05/sekulerisasi-masjid.html#.Wwc1GyxfWsU.whatsapp

Rabu, 23 Mei 2018

Hutang Selangit Rakyat Terhimpit

0

Hutang Selangit Rakyat Terhimpit
Oleh Nurul Sakinah Bayti, S.Hut
Wirausaha & Member Developer Property Syariah



Sebagaimana dikutip Liputan6.com dari data APBN Kita, Jakarta, Kamis (17/5/2018), utang pemerintah Indonesia per April ini yang sebesar Rp 4.180,61 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 773,47 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.407,14 trilyun.

Paradigma Hutang

Pernah mendengar hutang sebagai penyemangat hidup? Paradigma salah ini, rupanya banyak menjangkiti cara berpikir masyarakat. Bahkan sudah menjadi hal wajar dalam dunia perbisnisan. Ketika masyarakat membutuhkan dana instan, alhasil banyak lari mengambil solusi hutang. Ketika anak butuh sekolah, hutang menjadi jalan keluar bagi kebanyakan orang. Butuh modal tambahan, hutang pun menjadi cara "terbaik" bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya. Sehingga mereka mengganggap wajar ketika berhutang.

Lantas bagimana kalau paradigma ini juga menjangkiti negara? Ketika negara membangun ekonomi rakyatnya melalui hutang. Negara membangun sarana infrastruktur juga dari utang. Bahkan paradigma salah yang selalu digaungkan para penjaja ekonomi neoliberal ke negeri ini. Bahwa Indonesia tidak akan mampu membangun negeri, kalau tidak berhutang. Dan serasa ini diaminkan oleh para pejabat negara. Buktinya mereka bukannya mencari cara untuk segera menutup hutang tersebut, tapi malah memperbanyak hutang-hutang baru. Alhasil ya hutang akan diturunkan sampai ke anak cucu bahkan cicit.

Meluruskan Persepsi

Pilihan terhadap suatu perbuatan, ditentukan oleh persepsi/pemahaman seseorang. Ketika persepsinya benar, maka perbuatan yang dilakukan pun benar. Demikan pun sebaliknya, ketika persepsi yang dibangun salah, alhasil akan mengambil tindakan yang salah juga.
Termasuk dalam berhutang. Bagi individu, ketika berhutang dianggap sebagai penyemangat hidup. Dampaknya banyak orang yang mengambil hutang. Untuk menyemangati hidup dengan berhutang. Berhutang bukan karena terdesak kebutuhan. Namun serasa menjadi trend hidup masyarakat.
Berhutang memang boleh. Sebatas untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Bukan menjadi trend hidup. Bukan juga hutang yang mengandung riba. Karena hukum riba ini jelas keharamannya.

Sabda Rosululloh saw "Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)"

Nah, bagaimana kalau yang berhutang negara. Cara berpikir benar, seharusnya dimiliki oleh penguasa. Jangan membangun amal, atas persepsi. Apalagi membuat kebijakan atas pijakan persepsi. Ketika mengatakan bahwa Indonesia tidak akan bisa membangun sarana dan infrastrukturnya kalau tidak berhutang. Ini adalah persepsi. Akan sangat keliru, ketika persepsi ini membuahkan kebijakan dengan memperbanyak hutang, bahkan berhutang untuk kebutuhan jangka panjang. Padahal hutangnya negara selalu "berbunga" dan jumlah hutangnya sampai ribuan trilyun, lantas berapa bunganya yang harus dibayar setiap bulan? Pasti angkanya sangat fantastis.

Modus Intervensi

No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Semboyan ini serasa biasa dalam kehidupan demokrasi ini. Apalagi dalam hal bantuan (baca : hutang). Bahkan menumpuknya hutang sampai tidak terkendali, menjadi alat jitu bagi negara yang menghutangi untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri. Iya, hutang bisa menjadi modus untuk intervensi bahkan modus penjajahan ekonomi suatu negara. Banyak kebijakan-kebijakan negara yang diambil karena intervensi. Kebijakan menaikkan pajak, dampak dari hutang negara. Kenaikan BBM, ini juga dampak dari utang. Dan kebijakan-kebijakan lainnya yang dibuat negara, semata untuk menggenjot APBN negara. Ketika negara ini kaya, kenapa harus berhutang? Ketika negera ini sumberdayanya melimpah, kenapa mau untuk hutang?

Dalam islam hutang tidak akan dilakukan ketika negara memiliki kekayaan alam yang melimpah. Negara akan mengatur masalah kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan. Ada tiga macam  kepemilikan dalam Islam : kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

2Membiarkan individu untuk memiliki barang yang boleh dimiliki oleh individu secara syariat. Adapun kepemilikan umum, menjadi milik umum (milik rakyat) yang pengelolaanya dilakukan oleh negara. Sumberdaya alam yang menjadi milik umum, tidak boleh dikuasai oleh individu/kelompok, baik perusahaan swasta atau luar negeri. Kepemilikan negara, menjadi kewajiban negara untuk mengelolanya.

Hakekat hutang yang dilakukan oleh negara, rakyat pasti yang menanggungnya. Kalaupun alasan negara ketika berhutang untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ini alasan semu. Alasan yang mengada-ada. Karena realitanya, rakyat malah menanggung beban hutang itu. Rakyat malah tambah terhimpit, akibat hutang yang selangit. Sebagai solusi atas permasalah hutang, kembali kepada sistem yang shohih yaitu sistem Islam. Sistem Islam yang mengatur masalah kepemilikan dan pengelolaanya. Sistem Islam yang akan membawa kebaikan dan kesejahteraan rakyat.

http://www.dapurpena.com/2018/05/hutang-selangit-rakyat-terhimpit.html

Jumat, 18 Mei 2018

True Jilbab 3#Jilbabku Naik Gunung

0

Jilbabku Naik Gunung


Naik gunung menjadi impian saya ketika dibangku SMU dulu. Seru, banyak tantangan dan asyik aja. Impian yang sekian lama terpendam, karena waktu SMU gak ada kegiatan ekstrakurikuler Pecinta Alam.

 Baru terwujud saat kuliah. Dan itupun ketika saya telah berjilbab. Iya berjilbab. Pakaian panjang, longgar, terulur dari atas sampai bawah. Tidak boleh membentuk tubuh, tidak boleh transparan dan tidak boleh pas bodi alias ketat. Jilbab ini kebanyakan orang memandang sebagai pakaian pengajian atau kondangan, lah kok digunakan untuk naik gunung? Bagaimana jadinya?

Dintara sekian banyak aktivitas praktek di kampus kehutanan IPB, yang paling menantang adalah ketika praktek P3H (Praktek Pengenalan & Pengelolaan Hutan). Waktunya bisa dibilang lama, hampir 45 hari, dan aktivitas prakteknya sangat padat, harus blusukan ke hutan.

Mulai dari ngukur diameter pohon, tinggi pohon, jenis pohon, segala macam tanaman semak, macam satwa dan masih banyak yang lainnya. Lelah sudah pasti, namun dinikmati saja. Paginya persiapan berangkat, sorenya baru pulang ke penginapan di rumah dinas Perhutani.

Praktek menantang pertama, ketika menuju medan hutan. Hutan milik Perhutani Tasikmalaya. Jalan berbatu, berkelok dan naik turun. Kendaraan pun harus menggunakan motor Trel, motor cowok dengan ban besar. Ujian bagi jilbabku, ketika naik ke motornya petugas.

Pakai jilbab? Iyalah, jelas. Karena jilbab menjadi identitas iman dan ketaatanku, disinilah Alloh mengujinya. Membonceng motor Trel dengan jilbab. Tak kurang akal, akhirnya untuk keamanan membonceng, ujung bawah jilbabku saya kaitkan dengan peniti, he. Biar ga jatuh jilbabnya, dan biar ga masuk ke rantai motor. Karena rantai motor Trel rata-rata terbuka, jadi membahayakan kalau ujung bawah jilbab masuk ke rantai. Pernah juga kena semprot teman-teman cowok, gara-gara ujung jilbab yang hampir masuk ke rantai. Sangking konsentrasi dengan medan yang sangat mengerikan. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.

Ketika masuk hutan pun, ada beberapa pengalaman yang menantang. Karena semak-semaknya yang rimbun, untuk berjalan pun harus membabat beberapa tanaman semak. Butuh membuka jalan baru. Maklum, prakteknya kan di hutan, bukan di mall loh ya, he. Terlebih waktu itu bersamaan dengan musim hujan, licin sudah pasti. Berjalan sepanjang hutan, melakukan aktivitas analisis materi-materi kuliah. Belum lagi rasa takut kalau ada binatang buas, ular, kalajengking dan lintah. Benar-benar uji nyali. Bisa kebayang kan? Kalau belum kebayang, coba aja masuk hutan yang rimbun dan kondisi hujan, he.

Hutan mangrove dan hutan tepi pantai, tantangan lanjutan. Pakai jilbab, masuk ke hutan mangrove. Basah sudah pasti. Menurut saya yang rada menggelikan ketika jilbabnya masuk ke hutan mangrove. Akar pohon mangrove yang runcing-runcing dan berair, pasti jilbabnya naik-naik ke atas air, karena berat jenis kainnya lebih ringan. Jadi jilbabnya mengapung. Lumayan seru nih. Praktek analisis tanaman yang di mangrove, ngukur diameter pohon, sambil pegangin jilbab biar ga mengapung di air, he. Gimana caranya ya? Wis lah, pokoknya seru banget dan tantangan tersendiri buat jilbabku.

Nah ini termasuk saat yang saya impikan cukup lama yaitu pendakian gunung. Gunung Papandayan menjadi pilihan dalam praktek P3H. Gunung Papandayan memiliki dengan ketinggian 2.655 mdpl.

Namanya tidak asing lagi bagi yang mendengarnya, apalagi yang hobi naik gunung atau camping. Ya, gunung Merapi yang statusnya masih aktif ini menawarkan keindahan alam yang memukau dan sayang untuk dilewatkan. Salah satu hal yang menjadi daya Tarik Gunung Papadayan adalah terdapat beberapa kawah yang terkenal yaitu kawah mas, kawah baru, kawah nangklak, dan kawah manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap belerang dari dalamnya. Inilah praktek yang sangat menyenangkan, karena bisa belajar sekaligus refreshing, mengenal alam lebih dekat.

Sudah bisa dimaklumi, Garut terkenal dengan cuaca sangat dingin. Apalagi di saat pagi hari. Bahkan untuk mengambil air wudhu pun, harus mengalahkan rasa dingin. Melakukan sholat shubuh, setelahnya langsung persiapan pendakian.

Dengan diangkut pakai mobil Elp, rombongan pendakian mulai beraksi dari lokasi penginapan menuju kaki gunung. Perjalanan yang seru, naik-naik ke puncak gunung. Tinggi-tinggi sekali, he. Semakin tinggi, semakin sulit bagi jilbabku untuk ikutan naik. Butuh bantuan uluran tongkat teman, ketika naik di ketinggian. Biasanya teman cowok yang ulurkan tangan, cuman saya senyumin. Memilih teman cewek yang membantu, agar tidak ketinggalan rombongan. Teman cewek pun, memahami kondisi saya. Karena temen saya, memahami pilihan hidup saya dengan jilbab ini. Alhamdulillah tanpa mengeluh, teman cewek inilah yang jadi partner setia saya selama pendakian.

Kepleset, ketinggalan dengan rombongan, menjadi hal biasa. Bukan karena jilbabku, karena memang medanya yang berbatu dan licin. Sehingga pelan-pelan bagi kami untuk mendaki. Sesekali istirahat di tengah perjalanan, sambil menikmati indahnya pemandanagan sekaligus melakukan penelitian terhadap lingkungan Gunung dan sekitarnya. Kadang-kadang juga photo-photo untuk kenang-kenangan, biar bisa cerita ke anak cucu, he.

Dalam pendakian, ada rute lain yang bisa ditempuh dengan motor Trel. Tapi dosen pembimbingnya melarang mahasiswa untuk naik motor. Biar kalian merasakan pendakian, paparnya begitu pada kami. Ya seperti ini seharusnya mahasiswa, bersusah-susah untuk mendapatkan ilmu.
Sampai di Puncak Papandayan, aktifitas analisis materi praktek langsung kami lakukan secara berkelompok. Menghitung jenis pohon, mengukur diameter pohon, tinggi pohon dsb. Mencatat segala data yang dibutuhkan untuk pelaporan praktek.

 Berdiskusi dengan kelompok dan dosen pembimbing terkait dengan materi.
Yang seru, dosen pembimbing yang menyertai pendakian ada dua dosen. Satu masih muda, yang satunya lagi bisa dibilang sudah tua. Ini yang kadang saya kasihan pada Beliau. Pendakian yang tinggi, masih membawa kebutuhan pribadi untuk pendakian. Ditambah lagi tongkat kesayangan selalu melekat pada tangan Beliau. Namun saya acungkan jempol, Beliau tetap semangat untuk memberikan pengarahan dan motivasi pada kami. Kebetulan Beliau termasuk dosen mata kuliah tanah. Jadi seluk beluk tentang tanah, Beliau sangat hafal.

Menjelang sore, kegiatan pendakian siap-siap diakhiri. Kami pun menyegerakan untuk membereskan segala perlengkapan dan kebutuhan yang masih terserak. Mempercepat langkah agar segera sampai di kaki Gunung. Karena biasanya kami menjamak takhir sholat Ashar dengan sholat Dhuhur. Di gunung kan tidak ada air untuk berwudhu, jadi sholatnya dikerjakan kalau sudah sampai tempat penginapan.

Demikian juga untuk hari berikutnya kami melakukan pendakian kembali, melengkapi data-data yang kurang. Melanjutkan analisis  materi berikutnya.
Bersyukur, selalu bersyukur. Setiap tahapan praktek bisa tertunaikan. Jilbabku lolos dalam setiap ujian ketika praktek.

Jilbabku pengukur ketaatanku. Alhamdulillah, keyakinan kuat dalam diri ini, memberikan kemudahan dalam menjaga keistiqomahan berjilbab. Keyakinan akan Firman Allah yang artinya  bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuan hambaNYa (TQS. Al-Baqarah: 286). 

True Jilbab 2#Mudik,Tantangan Jilbabku

0

Mudik, Tantangan Jilbabku

Menjadi hal yang menyenangkan ketika mudik. Pulang kampung, berkumpul dengan keluarga, orangtua, kakak, keponakan dan kerabat lainnya. Saat yang dinanti-nanti setiap akhir tahun, di akhir ramadhan dan menjelang lebaran.

Meskipun antrian sangat panjang, berdesak-desakan untuk mendapatkan tiket kreta ekonomi yang super murah. Di tahun 2001 harga tiket cuman Rp 45.000,- sudah bisa pulang ke Jawa dari stasiun Jakarta Pasar Senen. Dibandingkan naik bus waktu itu sudah Rp 150.000,-, hampir 3x lipatnya kan, he. Maklum mahasiswa, dengan kondisi uang pas-pasan, bulanannya juga sedikit, sehingga nyari tiket mudik yang super ekonomi.

Ketika dalam kereta, mata para penumpang tertuju pada kami. Iya, waktu itu kami mudik bertiga ke kampung halaman di Kota Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Pertanyaan yang disampaikan salah seorang penumpang, mbak mondok di mana? Jauh amat mondoknya, memang di Jawa Tengah gak ada pondokan? Hampir selalu dapat pertanyaan yang sama dari penumpang lain setiap naik kereka.

Pandangan awal mereka selalu tertuju pada jilbabku. Iya, pakaian yang menurut mereka identik dengan pakaian anak pondokan. Kadang hampir tidak percaya kalau kami menyampaikan, kita kuliah bu, kuliah di Institut Pesantren Bogor, he. Banyak memang yang mengatakan IPB seperti pesantren, julukan dari senior-senior kami juga. Ketika melihat di IPB marak mahasiswa yang aktif ikut pengajian dan banyak juga  pergerakan islam di kampus.

Rasa senang ingin berkumpul dengan keluarga ini, bercampur dengan rasa was-was. Pertama kali pulang dengan pakaian yang tidak biasa. Jilbab yang sudah kupilih sebagai pakaian taat dan penutup aurotku. Di kreta saja sudah ada ujian dengan pertanyaan-pertanyaan seputar jilbabku, bagaimana dengan orangtua dan tetanggaku? Sudahlah, ini kan pilihan hidupku. Jilbaku adalah syariatNya. Alloh pasti menolong urusan hambaNya. Bujuk hatiku agar merasa tenang.

Tantangan jilbabku selanjutnya terjadi lagi. Seperti biasa setiap keluar rumah, motor selalu menjadi angkutan andalan setiap bepergian. Melihat pakaian saya yang dobel-dobel, ibu mulai menegurku. "Nduk klambimu iku opo gak sumuk? (Nduk, bajumu itu apa gak panas ?) Nganggo klambi kok dobel-dobel? (Pakai baju kok dobel-dobel?)" Tanya ibu kepada saya. Ibu melanjutkan nasehatnya : "wislah, pakai wae baju yang biasa mbok pake, ben gak kecantol motor?(sudahlah, pakai saja baju yang biasa dipake (maksudnya celana), biar ga nyangkut di motor)".

Pertanyaan-pertanyaan ini sudah saya duga sebelumnya. Mbak yang ngajari kajian, juga sering berpesan, kalau nanti pulang ke rumah, akan banyak pertanyaan-pertanyaan dari orang tua. Jangan dibantah, sampaikan saja nasehat yang baik untuk orangtua. Bahwa jilbab ini adalah perintah Alloh, syariat untuk menutup aurot bagi muslimah. Butuh proses untuk orangtua saya menerima keputusan saya berjilbab. Karena baru awalan melihat anaknya kok berubah pakaiannya. Saya pun tidak lelah selalu meyakinkan jilbab ini adalah pakaian yang sesuai syariat.

Semakin bertambahnya waktu, semakin mantap diri ini menunaikan syariat berpakaian bagi seorang muslimah. Jilbab yang dalam pandangan saya syar'i dan trendy. Harus menjadi trend juga bagi muslimah lainnya. Bahkan bagi siapapun yang melihatnya.

Sempat suatu waktu silaturahmi di rumah dinas Ibu Camat di Kecamatan Randublatung. Memang waktu itu masih ada beberapa pegawai kecamatan yang ngantor. Ibu yang di kantor tersebut menemui kami, dan menanyakan ingin ketemu siapa mbak? Ada keperluan apa? 1
Maaf mbak, kalau mau minta sumbangan, maaf ya. Kemudian keluar seorang ibu pegawai kecamatan lainnya, yang kebetulan tetangga saya. Mbak mau kepanggih sinten? Bu Camat bu, jawab saya. Kemudia beliau menghantarkan kami ke rumah dinas ibu Camat. Alhamdulillah, batin saya. Untung ada yang dikenal, ternyata jilbabku mengundang persepsi seperti orang yang suka minta sumbangan, he. Sambil senyum-senyum sendiri.

Kamis, 17 Mei 2018

True Jilbab 1 # Ngaji Membangunkanku dari Mimpi

0

Ngaji, Membangunkanku dari Mimpi

Nurul Sakinah Bayti, S.Hut
(Motivator & Wirausaha)


Merasa sudah baik, itulah saya dulu. Merasa gak banyak neko-neko dan pintar, itulah saya dulu. Bahkan merasa diri sudah sangat layak untuk membeli surgaNya, itulah saya dulu. Iya, saya yang merasa sudah cukup dari lingkungan keluarga yang kondusif, paham agama, dan selalu dekat dengan aktivitas agama, sehingga punya rasa percaya diri kalau ibadah saya pasti diterima Alloh, Astaghfirulloh.

Serasa wajar bagi saya waktu itu, kebiasaan harian saya cukuplah kalau dikatakan anak sholihah, cie muji diri sendiri. Mulai bangun tidur, ikut sholat berjamaah di masjid, belajar selepas shubuh, sekolah, pulang sekolah pun langsung bantu-bantu ibu di rumah, ngaji sore, malam belajar lagi, sholat berjamaah lagi. Bahkan hampir bisa dikatakan gak pernah yang namanya dolan (bermain) apalagi jalan-jalan sama the geng, la wong geng nya anak-anak pendiam dan rumahan, he, ya hampir tidak pernah lah. Maklumlah memang dari SD hingga SMU dikenal anak pintar, kata temen-temen sih. Tapi bener kok, buktinya bapak/ibu Guru di sekolah sampai saat ini pun masih ingat dengan saya, si Pintar yang ikut mengahrumkan nama sekolah. Aduh sombong dan PD nya minta ampun. Iya, itulah saya dulu.

Dalam pergaulan dengan teman-teman pun, suka memilah-milah temen. Merasa sebagai seorang cewek, ya wajar kalau lebih suka bergaul dengan cewek. Bahkan tidak pernah mau duduk sebangku dengan cowok. Maklumlah, saya termasuk tipe pemalu. Bahkan ada beberapa temen cowok merasa jengkel dengan saya, gegara saya termasuk orang yang katanya teman-teman, orang pintar yang pelit, beuh, dalam tuh sebutannya. Bagi saya, memberikan jawaban ketika ujian/ulangan, pantangan bagi saya. Disamping saya punya pesaing yang banyak dan berat di kelas ataupun dari kelas lain, rugi dong kalau ngasih bocoran ma pesaing, he. Itulah saya, salah seorang siswa yang tidak mau kalah dalam prestasi dan juara kelas. Makanya banyak teman-teman yang sukanya minta jawaban, gak bakalan dapat bocoran jawaban dari saya. Sampai sekarang, ketika masih ketemu sama teman-teman pun mereka selalu bilang, kamu itu dulu pintar tapi pelit, he, inget banget ya mereka. Iya, itulah saya dulu.

Alhamdulillah berkat usaha dan doa, berkat predikat sebagai siswa berprestasi, mudah bagi saya untuk masuk perguruan tinggi negeri. Sebenarnya dulu kepinginnya masuk kedokteran, namun kandas niatannya karena orangtua gak PD dengan mahalnya biaya sekolah di kedokteran.

Kata bapak seperti itu : "wis lah nduk, disyukuri saja udah keterima di IPB, kasihan nanti adik-adik kelasmu, gak bisa diterima, karena kamu wis diterima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) kok gak diambil. Karena dari awal pun, guru BP mewanti-wanti, kalau sudah keterima di PTN melalui jalur rapor, harus diambil. Kalau tidak diambil, soalnya nanti akan berpengaruh ke adik-adik kelas. Ini yang juga dinasehatkan Bapak kepada saya waktu itu. Kandas juga keinginan untuk ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Padahal saya termasuk yang dapat beasiswa untuk mengikuti tes UMPTN secara gratis, ketika diterima pun, bisa kuliah dengan biaya gratis, bahkan mendapat biaya bulanan juga gratis. Iya, itulah saya dulu.

Alhamdulillah, Alloh Swt punya cara terbaik untuk menuntun saya pada hidayahNya. Perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, ke Kota Hujan Bogor, bagi saya merupakan tantangan tersendiri. Wajar sebelumnya gak pernah kemana-mana. Eh, sekalinya sekolah malah ke luar kota. Jauh banget ke kota Bogor.

Perjalanan yang memakan waktu hampir sehari semalam. Dengan ditemani Bapak tercinta, diantarkanlah saya untuk mencari kos-kosan. Alangkah kagetnya saya ketika mendapati setiap rumah yang di koskan selalu tertutup pintunya.

 Aneh bagi saya. Karena di kampung, rumah yang ditutup biasanya tidak berpenghuni atau penghuninya sedang pergi. Lah, ini rumah-rumah yang di koskan hampir semuanya ditutup pintunya. Iya, saya memang diantarkan oleh kakak kelas yang aktif dalam organisasi BKIM (Badan Kerohanian Islam Mahasiswa). Jadi rumah yang dipilihkan, hampir semuanya rumah binaan istilahnya. Rumah yang dijadikan pembinaan untuk orang-orang yang ngekos, bukan hanya dapat ilmu ketika  kuliah, tapi juga dapat tambahan ilmu agama. Papar kakak kelas seperti itu.
Akhirnya masuk juga saya ke sarang harimau, he. Katanya kakak kelas yang lain ketika ngrumpi sesama wong jowo (rasa bangga loh, kalau ketemu sesuku bisa ngomong dengan bahasa yang sama, merasa gak sendirian lagi). Wejangan (nasehat) mereka, hati-hati loh dek, kalau masuk rumah binaan. Tambah berdegup nih jantung saya, ketika diomongin begitu. Memang kenapa mbak? Tanya saya balik. Trus dijawabnya, iya hati-hati saja, nanti kamu bakalan diminta pakai jubah kalau ke luar kosan. Banyak pengajian di kosan.

Wis lah, pokoke nanti akan banyak yang beda. Nak kuat yo gak apa-apa, tapi nak gak betah ke sini saja. Bagi saya yang merupakan orang baru, ini adalah bentuk perhatian beliau terhadap adik kelasnya. Tapi rada-rada takut juga sih. Sampe di bilangin masuk sarang harimau, ngeri juga, he.

Sebenarnya kalau kebiasaan pengajian, mengaji dan ibadah-ibadah keagamaan lainnya, bagi saya itu merupakan hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah ketika diminta pakai jubah kalau ke luar kosan apalagi kalau kuliah. Langsung kepala ini membayangkan hal-hal yang aneh-aneh, muncul beberapa pertanyaan terhadap diri sendiri. Bagaimana mungkin ya, kalau jubah dipakai pengajian sih gak masalah.

Yang masalah adalah ketika jubah dipakai untuk kuliah. Padahal saya kuliahnya di Fakultas Kehutanan, lah bagaimana mungkin diminta pakai jubah ketika naik gunung. Pakai jubah ketika praktek ke hutan. Ah, lamunanku semakin kemana-mana. Dalam hati, wis lah diikuti saja dulu.  Selama kebaikan yang diajarkan, pasti ada jalan keluar.

Seminggu tinggal di Bogor, masih sering mewek,he. Anak mami katanya. Gak pernah keluar rumah yang jauh-jauh. Paling lama dulu keluar rumah, rekreasi di Bali. Itupun untuk senang-senang. Nah ketika di Bogor jauh dari siapa-siapa, apalagi teman yang sama-sama kuliah di IPB memilih untuk kos di rumah umum, bukan rumah binaan. Sementara saya memilih untuk tinggal di rumah binaan.

Adaptasi pasti lah, butuh waktu cukup lama. Hampir sebulanan baru bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Lingkungan yang kondusif sih menurut saya, karena saya dulunya pun suka dengan aktivitas keagamaan. Cuman satu tok yang saya gak suka, ketika pas pengajian disinggung-singgung tentang jubah.

Awalnya setiap jadwal pengajian, saya semangat banget, karena materinya motivasi, mengingatkan akan Akherat. Namun setelah itu, materinya udah nyinggung-nyinggung tentang pakaian. Kewajiban muslimah untuk menutup aurotnya dengan sempurna. Maklum kali ya, meskipun saya paham agama. Ternyata niatan saya menutup aurot hanya sebatas merasa nyaman, agar tidak digoda. Iya sebatas itu niatannya. Setelah sering ikut pengajian, kok ada sesuatu yang berbeda. Mbak-mbaknya kok menyebut jubah dengan sebutan jilbab.

Padahal awalnya saya menutup aurotnya dengan pakaian panjang dan celana panjang. Mendapatkan pemahaman jilbab identik dengan jubah, bagi saya sesuatu yang aneh banget.

Pengajian diadakan hampir seminggu sekali. Bahkan kadang lebih intensif lagi, soalnya ada tambahan kultum juga di kosan setiap selesai sholat Shubuh.

Mulailah kami-kami yang belum mengenakan jubah ditanyain terus, kapan dek mau hijrah untuk mengenakan pakaian muslimah yang sempurna? Bahkan sempat terpikir untuk nyari-nyari alasan agar tidak ikut pengajian, karena tugas kuliah lah. Karena ada kegiatan di kampus lah, he.

Suka ngeles-ngeles juga untuk menghindar.
Sampai pada satu keputusan bagi saya, untuk menanggalkan celana panjang, berganti memakai rok panjang. Pikir saya, rada mendinglah. Kalau rok kan sudah terbiasa, tapi kalau pakai jubah? Pikiran kembali lagi berandai-andai, saya kan kuliah di kehutanan, masak harus pakai jubah?

Tiba saatnya mbak di kosan, yang juga guru ngaji, meyakinkan saya. Dek, jilbab ini syariat Alloh loh. Ini bukan perintah mbak, tapi langsung perintahnya dari Alloh. Dalil Al Qur'an surat Al Ahzab (33) : 59 sudah jelas, dalil haditsnya pun juga jelas. Sambil diingatkan kembali terkait istilah jilbab yang ada dalam Al Qur'an yang artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al Ahzab (33) : 59).

Kemudian beliau melanjutkan dengan nasehat Rosululloh saw ketika memerintahkan muslimah untuk menutup aurot dengan kerudung dalam Qur'an surat An Nur (24): 31, para shohabiyah langsung menyabet korden-korden yang ada di rumahnya dan merobek kain sarung mereka, digunakan untuk menutup kepala mereka. Kisah bersegeranya para shohabah mendengar perintah Alloh swt. Ketika shohabah mendengar, mereka langsung melaksanakannya tanpa nanti dan tanpa alasan.

Mbak pengisi ngaji kembali menanyakan kepada saya, lantas apa yang menghalangi anti untuk berjilbab dek? Butuh waktu bagi saya untuk merenung dan meluruskan niat mbak. Sampai tiba waktunya saya berani menceritakan hambatan, pikiran-pikiran yang menghalangi saya untuk berjilbab waktu itu. Termasuk bagaimana ketika nanti saya pulang kampung dengan pakaian seperti ini? Saya ceritakan semua kepada mbak ngaji yang sabar membina saya.

Sampai akhirnya saya mengambil keputusan untuk berjilbab. Hampir satu tahun saya berproses untuk menutup aurot secara sempurna. Berpikir, pakai rok pun juga ribet. Pakai rok belum dikatakan memakai jilbab. Karena hakekat jilbab adalah pakain panjang, longgar yang menutup seluruh aurot perempuan mulai dari atas sampai bawah. Jilbab hanya satu uluran, semacam terowongan dan semacam lorong. Jilbab tidak membentuk tubuh. Jilbab harus longgar dan tidak transparan. Cara berpikir manusiawi saya waktu itu, daripada sama-sama ribet, pakai rok ribet, pakai jilbab juga ribet, mending memakai jilbab, he. Jilbab dalilnya jelas, sementara rok tidak ada dalilnya.

Jilbab inilah pakaian syar'I, yang diperintahkan dan ada dalinya, batin saya waktu itu. Setelah semakin matang pemahaman saya tentang islam, berubahlah saya yang dulu, bukan saya yang sekarang. Bertambahlah keyakinan saya, bahwa melakukan amal, tidak boleh karena orang. Apalagi meniru-niru yang tidak jelas syariatnya. Bahwa menyegerakan kebaikan jauh lebih penting, dan jangan menunda-nunda. Karena niatan baik harus disegerakan. Jangan-jangan niatan yang baik itu, besok sudah berubah lagi. Ini yang selalu saya ingat-ingat dari nasehat mbak pengisi kajian.

Ngaji menyadarkan saya akan hakekat diri. Bahwa diri ini adalah titipan Alloh SWT. Ketika diri ini dititipi kepintaran, itupun anugerah Alloh. Tak layak manusia sombong, apalagi membanggakan dirinya. Sepintar apapun manusia, dia tetap manusia yang lemah. Manusia yang tidak ada artinya ketika sudah mati. Sehingga kepintaran seharusnya dimanfaatkan untuk penghambaan diri pada Ilahi.

Kepintaran harus tunduk pada ayat-ayat Alloh. Bukan menjadikan diri pongah, tetapi justru menjadikan diri tambah bersyukur dan dekat dengan Alloh. Alhamdulillah, disinilah saya merubah cara pandang yang keliru waktu itu.

Ngaji menjadikan saya lebih paham tentang Islam. Bahwa ujian hidup manusia pasti akan selalu datang. Alloh menguji manusia, karena Alloh cinta pada hambaNya. Alloh uji manusia, untuk mengetahui seberapa besar tingkat iman kita pada Alloh. Malu rasanya ketika mendengar dan membaca kualitas iman para sahabat terdahulu. Bilal bin Robbah dan Sumayyah, harus menanggung penderitaan dan penyiksaaan dari orang-orang Quraisy karena iman mereka. Bahkan Bilal disiksa majikannya, dijemur diterik matahari, ditindih dadanya dengan batu. Tak sedikitpun memalingkan iman Beliau. Ahad, Ahad, Ahad. Perkataan ini yang terucap dari lisan Bilal untuk mempertahankan imannya. Tidak mau berpindah ke agama nenek moyang, meskipun penyiksaan selalu menimpanya.

Rasanya malu diri ini ketika melihat perjuangan para sahabat. Mereka orang-orang yang kuat imannya. Merek orang-orang yang rela mati untuk agamanya. Bagaimana dengan saya? Akhirnya pikiran ketika diri merasa layak menempati posisi Surga, serasa jauh untuk saya. Amalan saya, perjuangan saya, belumlah seberapanya dibandingkan para sahabat.

Semakin merasa rendah diri ini dihadapanNya. Membuat diri ini semakin mendekat dan taat padaNya. Mumpung nyawa masih di badan. Mumpung masih ada kesempatan.

 Terbangun diri ini dari mimpi, tersadarkan diri ini ketika mendengar Firman Alloh yang artinya : "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti yang dialami orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemlaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rosul dan orang-orang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Alloh?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat. (TQS. Al Baqoroh (2): 214)

Selasa, 15 Mei 2018

0

Ramadhan Butuh Bekal

Oleh : Nurul Sakinah Bayti, S. Hut
Motivator dan Anggota Revowriter

Tak terasa tinggal menghitung hari. Tamu agung sebentar lagi datang. Tamu yang banyak dinanti-nanti. Marhaban yaa Ramadhan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sudah hadir kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan di dalam bulan Ramadhan untuk berpuasa. Pada bulan Ramadhan Allah membuka pintu langit, menutup pintu neraka, dan membelenggu semua setan. Di dalam bulan Ramadhan Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang diharamkan kebaikan malam itu maka ia sungguh telah diharamkan (dari kebaikan).” (HR. Nasa’i dan Baihaqi).

Sudahkah punya bekal banyak? Butuh waktu khusus untuk menyiapkannya. Butuh korbanan kesempatan. Menyempatkan dalam waktu luang.

Setahun tak terasa. Bahkan setahun rasanya hanya sebulan. Sebulan serasa sehari. Sehari pun serasa kedipan mata saja. Fajar pagi berangsur-angsur tenggelam. Hari berganti malam. Malam pun kembali berganti pagi lagi.

Ya, demikianlah waktu. Sehari-harinya tidak terasa. Bahkan usia pun semakin bertambah. Jatah semakin berkurang. Serasa amalan belum cukup sebagai bekal.

Agar tidak menyesal. Agar ramadhan penuh makna. Hari-harinya semakin berharga. Maka penting untuk menyiapkan bekal dalam menghadapinya. Apa saja bekal itu, diantaranya adalah :



1. Bekal Iman
Iman adalah pondasi dalam setiap ibadah. Tak kan bernilai aktivitas ketika tak ada iman. Dan ketika iman lemah, sulit bagi seseorang untuk tergerak dalam ibadah. Sehingga muncul rasa malas. Tak merasa berdosa ketika meninggalkan kewajiban. Tak merasa bersalah ketika menabrak aturan.

Demikian ketika ramadhan. Iman menjadi pondasi amal. Pondasi dalam memberikan motivasi. Memaksa diri agar memperbanyak amal. Dan amal itulah yang akan kita bawa saat menghadapNya.

Sebagaimana perintah puasa ramadhan. Hanya Alloh SWT wajibkan atas orang-orang yang beriman. Firman Alloh SWT : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (TQS. Al Baqarah: 183)

2. Bekal Ilmu
Beriman harus dengan ilmu. Ilmu yang akan memuaskan akal sekaligus memuaskan hati. Karena ilmu ini yang akan menghantarkan benar atau tidaknya proses iman kita.

Ilmu tentang Islam sangat luas. Bahkan seandainya lautan jadi tinta. Pohon-pohon sebagai pena. Tak kan pernah habis untuk menuliskan ilmu Alloh. Karena luasnya ilmu Islam inilah, penting bagi kita untuk selalu mencarinya. Agar tak salah dalam ucapan dan perbuatan.

Alloh SWT meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu. Dalam Surat Mujadilah (5) ayat 11,“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Memasuki bulan Ramadhan pun, membutuhkan persiapan ilmu. Mencari ilmu agama hukumnya wajib. Terlebih kewajiban ini dijalankan di bulan Ramadhan. Maka Alloh lipatgandakan pahalanya sampai 70 kali lipat. Subhanalloh

Ilmu yang penting dipahami selama bulan Ramadhan tak cukup seputar amalan-amalan wajib dan sunnah selama bulan Ramadhan. Namun dibutuhkan juga memahami ilmu dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Banyak yang merasa cukup dengan mengikuti perhitungan kalender yang sudah ada. Atau berdasar pengumuman pemerintah saja.

Padahal dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan Rosululloh SAW berpesan agar menggunakan rukyatul hilal global (melihat pergantian bulan secara global, bukan lokal). Artinya ketika sudah ada yang melihat hilal (bulan baru), maka wajib atas seluruh penduduk dunia turut berpuasa.
Rosululloh SAW besabda : "Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).

Namun sayangnya penerapan hilal secara global ini, tidak diterapkan oleh negeri muslim. Sehingga terkadang masyarakat bingung ketika ada perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Bahkan dalam satu negeri pun kadang ada perbedaan. Apalagi kalau disetiap rumah ada pemahaman yang berbeda. Awal dan akhir Ramadhan pun bisa tidak sama.

Belum adanya pemimpin yang satu menjadi penyebab terpecahbelahnya masyarakat. Sehingga masyarakat dunia butuh adanya kempemimpinan satu. Satu pemimpin untuk seluruh dunia. Yang menerapkan syariah Islam kafah. Sehingga perbedaan antar masyarakat tak kan terjadi lagi. Inilah pentingnya umat dalam memahami ilmu. Sekaligus memahami ajaran Islam.

Senin, 14 Mei 2018

Hukum Seputar Fidyah Puasa oleh Ust. Shiddiq Al Jawi

0

HUKUM SEPUTAR FIDYAH PUASA

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya:
Ustadz, mohon dijelaskan tentang fidyah puasa, khususnya mengenai bentuk dan caranya. (Abu F, Tangerang).
Jawab :
Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).
Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan; Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184). Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).
Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).
Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207). Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).
Cara membayar fidyah dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa. Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu). Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).
Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).
Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah: 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah, “fidyatun tha’aamu miskin.” Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178). Wallahu a’lam.[]


Islam Menjadi Pihak Tertuduh

0

Islam Menjadi Pihak Tertuduh
Nurul Sakinah Bayti, S.Hut ( Motivator & Anggota Revowriter )

Media dengan cepat merespon pemberitaan terkait kasus pengeboman di tiga gereja di Surabaya Ahad 13 Mei kemarin. Lagi-lagi dugaan pelakunya langsung tertuju pada kelompok Islam. Dengan atribut dan identitas islam. Gerakan JAD (Jamaah Anshorut Daulah) menjadi terduga sementara atas peristiwa pengeboman ini.

Menurut Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan, pihaknya melakukan pengejaran terhadap kelompok JAD yang bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya dan ledakan bom di rusunawa di Wonocolo Sidoarjo, Jawa Timur. Hasilnya, lima orang tertangkap, Senin dinihari tadi.

"Subuh tadi tertangkap lima orang. Satu orang nama Budi Satrio," kata Tito dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, Senin (14/5/2018).

Islam Tertuduh

Bukan hal baru dalam kasus pengeboman dan bom bunuh diri ini terjadi. Sejak tahun 2000an serasa isu ini mulai marak. Berawal dari kasus 11/09/2001 mulai maraklah penyebutan istilah teroris. Bahkan julukan ini melekat pada Islam. Islam dijuluki teroris.

Kembali lagi Islam menjadi tersangka. Pelakunya orang Islam. Gerakanya Islam. Dan atributnya pun Islam. Seolah setiap kali kasus pengeboman, Islam selalu menjadi tersangka. Islam pihak yang tertuduh.

Pengebomana apapun motifnya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Apalagi kalau dikaitkan dengan ajaran Islam. Bukanlah tindakan yang sesuai ajaran Islam. Bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengaitkan setiap peristiwa pengeboman dengan Islam, kelompok islam dan atribut islam adalah tindakan picik. Tidak dibenarkan dalam ajaran islam.

Memang tidak langsung menjuluki Islam teroris. Namun opini yang digiring media, menunjukkan ke arah situ. Melekatkan tersangkanya pada salah satu gerakan Islam. Bahkan salah satu terduga pelakunya pun mengenakan identitas islam, muslimah bercadar.

Nyata sebenarnya opini yang ingin diaruskan oleh beberapa pihak, apakah media, aparat atapun penguasa. Arahannya adalah setting opini. Menghidupkan kembali gerakan penanggulangan teroris. Dan yang disebut teroris ini adalah Islam. Sehingga masyarakat menjauhi Islam. Sekaligus menjauhi ajaran Islam.



Hukum Bunuh Diri

Apapun motif bunuh diri yang dilakukan seseorang. Perbuatan tersebut diharamkan oleh ajaran Islam. Islam mengharamkan bunuh diri. Dan bunuh diri bukan ajaran Islam. Pelakunya akan mendapat dosa yang besar dari Alloh SWT.

Sebagimana firman Alloh SWT yang artinya :"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (T.QS. AnNisa ayat 29)

Di dalam tafsirnya disebutkan bahwa larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Demikian juga terdapat larangan melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya binasa di dunia atau akhirat.

Jelas bahwa bunuh diri apapun motifnya adalah haram. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah pihak-pihak yang memainkan opini terkait dengan bom bunuh diri ini. Yang mengaitkan dengan gerakan Islam. Bahkan dikaitkan juga dengan aktivitas dakwah Islam. Sungguh ini tindakan keculasan yang sangat nyata. Semoga Alloh SWT segera membongkar makar-makar mereka.

https://www.mediaoposisi.com/2018/05/islam-menjadi-pihak-tertuduh.html

Minggu, 13 Mei 2018

Pelacuran Berkedok Lelang Keperawanan

0

Pelacuran Berkedok Lelang Keperawanan

Oleh : Nurul Sakinah Bayti, S.Hut
 ( Motivator )

Lelang keperawanan tiga tahun terakhir ini mulai marak melalui situs internasional Cinderella Escorts. Bahkan belum lama ini, seorang perempuan Inggris, Jasmin (26) menjual keperawanannya dengan harga sekitar Rp 21 miliar kepada seorang aktor terkenal Hollywood. Jasmin diketahui melelang keperawanannya itu melalui Cinderella Escorts yang didirikan oleh Jan Zakobielski. Bulan April tahun lalu Cinderella Escorts berhasil menjual wanita Rumania Alexandra Khefren (18) dengan harga 2,4 juta dolar yang dibeli pengusaha Hong Kong. (Jumat, 30 Maret 2018 ; 13.24 WIB)

Tidak sedikit juga perempuan Indonesia yang melamar ke Cinderella Escorts (CE), situs pelelangan keperawanan yang berpusat di Jerman. Jumlahnya mencapai sekitar 350 orang dengan usia antara 18 sampai 23 tahun ( Sabtu 31 Maret 2018; 07.50 WIB)

Materi menjadi Tuhan

Banyak motif yang menjadikan perempuan-perempuan yang "hilang akalnya"  melakukan lelang keperawanan. Mulai dari motif ekonomi, punya banyak hutang, bahkan untuk memenuhi nafsu gaya hidup. Cewek matre, cewek matre. Sindiran ini, serasa pas sekali untuk sebutan mereka. Iya, karena keinginan untuk mendapatkan materi yang instan, tidak perlu lama. Ikut saja gabung dalm situs CE tersebut.

Materi menjadi ujung tombak kehidupan perempuan masa kini. Bukan hanya menjamur di dunia internasional, bahkan di Indonesia pun, yang dikenal dengan budaya santun, beberapa perempuannya terjebak dalam trend "pelacuran internasional". Ternyata materi telah membutakan hati dan akal perempuan. Materi membuat perempuan melakukan apapun untuk meraihnya. Meraih kesenangan sesaat, menghilangkan dahaga atas nama syahwat demi secuil gaya hidup. Naudzubillah.

Bahkan sebagian perempuan-perempuan menjadikan materi sebagai Tuhan. Tidak bisa hidup, ketika miskin. Tidak bisa hidup, ketika kekurangan. Bahkan tidak bisa hidup, ketika gaya hidup tidak terpenuhi. Materi telah menjadi satu-satunya tujuan hidup. Materi pun ujung tombak hidup mereka. Walhasil, banyak perempuan-perempuan muda, melelang keperawanannya dengan harga beranekaragam. Semakin cantik dan terkenal perempuan tersebut, otomatis posisi tawarnya semakin tinggi. Harga lelangnya pun pasti semakin mahal.

Pandangan Islam

Maraknya kasus lelang keperawanan dan semacamnya, banyak faktor yang bisa dilihat dan dikritisi, diantaranya :
1. Sisi individu
Lemahnya keimanan menjadi pendorong utama penyakit ini. Istilah lelang keperawanan, serasa istilah baru. Namun sejatinya, hal ini pun sudah lama menjangkiti kehidupan manusia. Sebelumnya tak asing telinga kita mendengar istilah PSK (Pekerja Seks Komersil), Prostitusi, bahkan dilokalisasi pada tempat-tempat khusus. Semacam gang Doly, sebelum dibubarkan menjadi tempat pelacuran yang dilegalisasi.  Tingkat keimanan yang rendah, menjadikan perempuan rela menjual dirinya, untuk sekeping rupiah. Rela menggadaikan keperawanannya, untuk selembar dollar. Rela menjual akheratnya, untuk dunia yang sesaat.

Keimanan yang kuat, menjadi penjaga diri. Karena Iman yang kokoh lah, mampu menjadikan Bilal bin Robbah yang merupakan sahabat Nab sawi, disiksa oleh orang Quraisy. Ditindih dadanya dengan Batu Besar. Diseret sepanjang jalan di Kota Mekkah. Sehingga hanya bisa mempertahankan imannya dengan berkata ahad, ahad, ahad. Keimanan yang kuat juga mampu menjadikan Sumayyah, Yasir dan Amar bin Yasir bertahan dalam keislamannya meskipun sering dijemur di bawah terik matahari. Dan masih banyak buah keimanan yang contohkan oleh para sahabat.

2. Sisi Masyarakat
Dulu PSK, menjadi "aib" bagi masyarakat. Seiring waktu, PSK sudah menjadi pekerjaan yang diakui. Bahkan berangsur-angsur, masyarakat sudah mulai tak peduli dengan pekerjaan ini. Makna tak peduli, sebenarnya adalah cuek terhadap kondisi perempuan-perempuan. Merasa itu bukan urusannya, hasilnya masyarakatpun membiarkan.

Membiarkan kemaksiatan merajalela di depan mata, adalah dosa besar. Sebagaimana hadits Nabi saw : "Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Hadis ini menjelaskan bahwa jika zina dan riba telah menyebar di tengah suatu masyarakat maka itu akan memancing turunnya azab Allah. Keberkahan akan dicabut dari masyarakat yang seperti itu. Sebaliknya, keburukan dan kerusakan akan terus mendera masyarakat tersebut selama mereka tidak berupaya mencegah tersebarnya zina dan riba, mengubah dan menghilangkannya dari kehidupan masyarakat.

Menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar, saling menasehati dalam masyarakat adalah satu kewajiban. Amar ma'ruf nahi mungkar juga menjadi tanda cinta dan kasih sayang kepada manusia. Kepedulian terhadap masyarakat, akan menyelamatkan masyarakat dan generasi keturunanya dari adzab Alloh swt.

Sebagaimana hadits Nabi saw : "Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)

3. Sisi Negara
Abainya negara terhadap perlindungan dan kesejahteraan rakyatnya, menjadi salah satu faktor maraknya kasus lelang keperawanan. Perempuan-perempuan muda, karena gaya hidup, termakan ganasnya dunia maya, membentuk gaya hidup hedonis dan konsumtif. Melakukan berbagai cara untuk mengeruk materi. Bahkan negara pun melokalisasi kemaksiatan zina ini. Ditarik pajaknya, karena dianggap sebagai sumber pendapatan negara. Astaghfirulloh

Negeri yang kaya semacam Indonesia, menjadi miskin ketika urusan "ngopeni" kesejahteraan rakyat. Negeri yang dulunya gemah ripah loh jinawi, berubah drastis menjadi negeri yang miskin, banyak pengangguran, bahkan gudangnya masalah kehidupan. Iya, karena negara salah dalam mengurusi rakyat. Negara salah dalam mengambil kebijakan. Banyaknya kebijakan yang lebih berpihak pada swasta/asing, menjadikan hilangnya ladang emas di Freeport Papua. Karena Undang-Undang Penanaman Modal Asing, menjadikan terjualnya Blok Cepu. Banyak lagi aset negeri yang dijual ke asing, dan apa yang dialami rakyat? Iya tinggal gigit jari. Ibarat tikus yang mati di Lumbung Padi.

Islam menjadikan pemimpin adalah pelindung dan pengayom rakyat. Sebagaimana hadits Nabi saw : ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).


 Negara akan menjaga rakyatnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang akan mendatangkan murka Alloh swt. Negara akan melindungi keimanan warga negaranya, dari bahaya pemikiran-pemikiran kufur. Negara ideal semacam ini akan bisa terwujud dalam sistem Islam, Khilafah Islamiyah sesuai metode Nabi saw.

Sabtu, 12 Mei 2018

Ilusi Keadilan di Negeri Sendiri

0

Ilusi Keadilan di Negeri Sendiri
Oleh : Nurul Sakinah Bayti, S.Hut
Motivator

Dalam beberapa hari ini, masyarakat Indonesia masih membicarakan terkait gugatan HTI yang ditolak oleh PTUN. Banyak tanya dibenak terkait kesalahan HTI. Kenapa badan hukumnya dicabut ?

Sementara tidak ada proses peringatan dan peradilan ketika pencabutan tersebut.
Menurut Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengingatkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa putusan Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta maupun Mahkamah Konstitusi bukanlah ajang pertarungan antara Pemerintah melawan kelompok agama tertentu.

Akan tetapi, lanjut dia, putusan tersebut untuk mencari kebenaran hukum dalam menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, pembubaran HTI tak perlu lagi diributkan. “Kita semua harus menyadari bahwa tujuan keputusan tersebut semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara,” ujar Wiranto dalam keterangan resminya. www.kompas.com, Selasa (8/5/2018).

Fokus pada Gugatan
Paska UU Ormas disahkan, yang selumnya dari Perppu Ormas. Segera Pemerintah mencabut status badan hukum HTI. Alasan pencabutan tersebut HTI dianggap sebagai ormas yang membahayakan keutuhan NKRI dan Ide Khilafah yang disebarkan dianggap membahayakan NKRI.

Hal inilah yang menjadikan HTI mengajukan gugatan ke PTUN. Menanyakan alasana pencabutan badan hukum. Sekaligus meminta kejelasan atas tuduhan-tuduhan yang dibuat pemerintah terhadap HTI.

Padahal salah satu fungsi PTUN adalah  melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum (www.ptun-jakarta.go.id.).

 Dalam hal ini PTUN hanya berwenang untuk membuktikan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh HTI, tidak lebih dari itu. Lantas kenapa masalahnya semakin meluas?

Ini yang menjadi tanda tanya HTI. Karena HTI dalam melakukan kegiatannya selalu rapi dalam administrasi. Termasuk HTI juga yang lebih awal mendaftarkan legalitas sebagai sebuah ormas yang berbadan hukum tahun 2014. Lantas tanpa bukti dan alasan, Pemerintah mencabut status badan hukumnya.

Ketika alasannya adalah karena ide yang dibawa oleh HTI. Khilafah yang diusung HTI dianggap membahayakan keutuhan NKRI. Tuduhan ini harus dibuktikan di pengadilan. Tidak bisa pemerintah main hakim sendiri dengan mencabut status badan hukumnya.

Benar atau tidaknya tuduhan tersebut, ada pengadilan yang membuktikan. Jangan berdasarkan asumsi, terlebih persepsi.
Seorang pengendara motor saja. Ketika melanggar peraturan, harus mendapatkan surat tilang dari polisi. Bagaimana mungkin sebuah ormas besar, ketika dicabut badan hukumnya. Tidak ada teguran, terlebih surat tilang. Ini kan sangat aneh.

Seolah pemerintah ingin mencari pembenaran terhadap apa yang dilakukan terhadap HTI. Takut kalah dengan dalam diskusi, sehingga ambil solusi pintas. Mencabut status badan hukum.

Terkait pernyataan PTUN bukan ajang pertarungan Pemerintah dan rakyat. Seolah kata ini ingin membenturkan Pemerintah dengan rakyat. Ketika sebuah ormas dibenturkan dengan Pemerintah. Sekuat apapun ormas, tak akan bisa melawan kekuatan pemerintah. Terlebih pemerintah yang sudah dikuasai syahwat politik.

Siapapun yang tidak berpihak pada pemerintah, termasuk ormas. Akan disingkirkan. Ini nyata.
Tidak perlu meributkan soal pembubaran HTI. Ini demi kebaikan masyarakat. Seolah kata ini menyejukkan. Namun sejatinya adalah pembelaan diri.

Ketika prosedur hukum yang tidak mengikuti  aturan. Otomatis masyarakat akan menuntut keadilan. Termasuk dalam perkara HTI.

Islam Adil
Dalam sistem islam, keadilan menjadi hak setiap orang. Baik penguasa ataupun rakyat biasa. Baik putri bangsawan maupun putri rakyat jelata. Akan medapatkan keadilan yang sama.

Karena islam adalah agama yang adil. Syariatnya berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada pembedaan. Dan tidak pilih kasih.

Kisah Rosululloh saw bersabda : Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka membiarkanya; tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”

Keadilan islam akan bisa terwujud, ketika syariatnya diterapkan oleh sebuah institusi. Institusi islam yang tegak atasnya hukum-hukum islam. Institusi yang tidak akan pilih kasih dalam menegakkan keadilan. Termasuk dalam menyelesaikan setiap perkara yang menimpa umat.

Berharap keadilan di negeri ini hanya ilusi. Hanya bisa berharap pada sistem islam yang rahmatan lil 'alamin. Yang memberikan keadilan sebenar-benarnya. Keadilan yang bersumber dari Dzat Yang Maha Adil. Alloh SWT.


Selasa, 08 Mei 2018

Bolehkah Jual Beli Emas Secara Kredit? Oleh KH.Hafidz Abdurrahman

0

BOLEHKAH JUAL-BELI EMAS SECARA KREDIT ?

Oleh : KH Hafidz Abdurrahman, MA

Mengingat kurma termasuk 6 jenis barang yang terkena riba, bolehkah menjual kurma dibayar mundur? Hal yang sama, bolehkah membeli emas dengan dibayar mundur, ataukah harus cash ? Lalu apa bedanya dengan hutang (qardh) yang dibolehkan, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan riba dan sharf dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi? 

Jawab:

Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, jawabannya sebagai berikut:

PERTAMA:
RASULULLAH SAW. BERSABDA:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالبُرُّ بِالبُرِّ، وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالِمْلحِ مَثَلاً بِمَثَلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ. فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, gandung [Sya’ir] dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sepadan, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian, dengan syarat, tunai (HR al-Bukhari dan Muslim melalui jalur ‘Ubadah bin Shamit, ra.).

Nash ini dengan jelas menyatakan, jika jenis barang riba tersebut berbeda, maka “kalian bisa menjual sesuka kalian”. Artinya, tidak ada syarat harus sepadan, tetapi tetap disyaratkan ada serah terima [taqâbudh]. Kata “al-ashnâf” dinyatakan secara umum untuk semua jenis barang riba, yaitu keenam-enamnya, tanpa ada satu pun yang dikecualikan, kecuali dengan nash. Karena tidak ada satu nash pun, maka hukum kebolehan menjual burr 1 dengan gandung, burr dengan emas, gandung dengan perak, kurma dengan garam, kurma dengan emas, garam dengan perak dan sebagainya, betapapun nilai tukar dan harganya beda, tetap harus cash, atau tidak dihutang. Ketentuan yang berlaku untuk emas dan perak juga berlaku untuk uang kertas, karena adanya ‘illat naqdiyyah [uang]; karena ia digunakan untuk menentukan harga dan upah.

KEDUA:
ADA PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN SERAH TERIMA [TAQÂBUDH] KETIKA MELAKUKAN JUAL BELI TERHADAP JENIS-JENIS BARANG RIBA, YAITU KETIKA MENGAGUNKAN [RAHN], SAAT MEMBELI EMPAT JENIS BARANG RIBA, BURR, GANDUM, GARAM DAN KURMA DENGAN UANG.

Dasarnya adalah hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan membayar mundur [hutang], dan Baginda menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut. Dengan kata lain, Rasulullah saw. pernah membeli makanan dengan hutang, disertai agunan [rahn]. Makanan mereka ketika itu adalah barang jenis riba, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis di atas, “Makanan dengan makanan, dengan sepadan. Makanan kami ketika itu adalah gandum.” (HR Ahmad dan Muslim melalui jalur Ma’mar bin ‘Abdillah). Karena itu boleh membeli keempat jenis barang riba tersebut dengan bayar mundur [dihutang] ketika sesuatu dijadikan agunan pada pembeli hingga harga yang harus dibayar telah diberikan.

KETIGA:
JIKA ORANG YANG MEMBERI PINJAMAN (DÂ’IN) DENGAN ORANG YANG BERHUTANG [MADÎN] SATU SAMA LAIN SALING PERCAYA, MAKA TIDAK DIBUTUHKAN AGUNAN (RAHN). DALILNYA ADALAH FIRMAN ALLAH SWT:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ

Jika kalian dalam perjalanan [dan bermuamalah tidak secara tunai], sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang yang diagunkan yang dipegang (oleh yang menghutangi). Namun, jika sebagian di antara kalian saling percaya satu sama lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanah (hutang)-nya. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya (QS al-Baqarah [2]: 283).

Ayat yang mulia ini memberikan pengertian, bahwa agunan hutang selama perjalanan tidak diperlukan jika orang yang memberikan hutang dengan yang berhutang saling percaya satu sama lain. Ayat ini diberlakukan untuk agunan ketika membeli dengan bayar mundur terhadap keempat jenis barang riba yaitu burr, gandung, garam dan kurma.

Penunjukan ayat ini dengan jelas menyatakan, bahwa agunan dalam kondisi seperti ini tidak diperlukan.

KEEMPAT:
KARENA ITU, BOLEH MEMBELI KEEMPAT JENIS BARANG RIBA,

“Burr, gandum, kurma dan garam” dengan uang dibayar mundur, baik disertai agunan atau tidak untuk membayar hutang tersebut, dengan syarat, jika masing-masing penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain.. Dalam kedua kondisi seperti ini, maka membeli jenis barang riba ini dengan pembayaran mundur diperbolehkan. Dengan kata lain, kurma yang ditanyakan boleh-tidaknya dibeli dengan bayar mundur, jawabannya jelas boleh jika memenuhi syarat yang disebutkan dalam ayat di atas:

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

Namun, jika sebagian di antara kalian saling percaya satu sama lain (QS al-Baqarah [2]: 28).

Inilah yang kami kuatkan dalam masalah ini. Allah Mahatahu dan Mahabijak.

KELIMA:

Sekadar informasi, telah dinyatakan dalam Syarh Shahîh al-Bukhâri, karya Ibn Batthal, Bab Syira’ at-Tha’am ila Ajal [Bab Membeli Makanan dengan Bayar Mundur], tidak ada perselisihan di kalangan ahli ilmu bahwa membeli makanan dengan harga tertentu pembayarannya boleh ditangguhkan hingga tenggat waktu tertentu.2

Dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, karya al-Jazairi, tentang membeli jenis barang riba dinyatakan, “Adapun kalau salah satu pertukarannya kas, sedangkan yang lain berupa makanan, maka boleh ditangguhkan (dibayar mundur).” 3

Dalam kitab I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Alamîn, karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ketika beliau membahas hikmah pengharaman riba nasi’ah dalam makanan, beliau mengatakan, “Berbeda jika dijual dengan dirham atau yang lain dari barang-barang yang ditimbang dengan dilebihkan, maka kebutuhan menuntut hal itu dilakukan.” 4

KESIMPULAN

Pertama:
Boleh menjual kurma, burr, gandum dan garam dengan uang dibayar mundur, disertai agunan (rahn) untuk membayar hutangnya, atau tanpa disertai agunan jika pembeli dan penjual saling percaya satu sama lain.. Di luar kedua kondisi ini tidak dibolehkan.

Kedua:
Membeli emas dengan uang dibayar mundur secara mutlak tidak dibolehkan, baik uangnya sama-sama berupa emas, atau uang kertas; baik semua hutangnya dibayar mundur, atau dicicil, misalnya sebagian dibayar cash, sedangkan sisanya dicicil. Dalam kondisi yang terakhir, yaitu dicicil, sebagian harganya dibayar di depan (sisanya dibayar mundur), maka jual beli emas yang sah adalah yang harganya dibayar di depan dengan cash, atau pembayaran pertama. Adapun yang dibayar dengan cicilan selanjutnya, jual-belinya dianggap tidak sah. Jika semuanya dicicil, atau tidak dibayar cash sedikit pun, maka semua jual belinya dianggap tidak sah. Ini karena dalil-dalil pertukaran barang riba tersebut bisa diberlakukan padanya.

Ketiga:
Hutang-piutang emas, perak, uang dan semua jenis barang riba hukumnya boleh, dengan syarat tidak ada riba. Fakta ini berbeda dengan jual-beli dan sharf (pertukaran uang) sekalipun bentuknya hampir mirip. Di dalam jual-beli dan sharf memang terjadi pertukaran harta dengan harta, dengan jenis yang sama atau berbeda.

Adapun hutang-piutang [qardh] adalah memberikan harta kepada pihak lain untuk dikembalikan seperti apa adanya. Hutang-piutang itu bagian dari kasih-sayang. Dalilnya jelas berbeda dengan dalil jual-beli. Dalil jual-beli jenis barang riba tidak bisa digunakan untuknya. Sebaliknya, dalil-dalil tersebut menyatakan kebolehannya.

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah saw. pernah berhutang unta muda [bakar] kepada seorang pria. Nabi saw. kemudian mendapatkan seekor unta sedekah, lalu memerintahkan kepada Abu Rafi’ untuk membayarkan [hutang] unta muda kepada orang tersebut. Abu Rafi’ pun kembali kepada Nabi saw. seraya berkata, “Aku tidak mendapatinya, kecuali lebih baik [lebih tua] memasuki usia 7 tahun.” Nabi bersabda, “Berikanlah kepada dia karena orang yang terbaik adalah mereka yang paling baik membayar hutangnya.”

Ibn Hibban telah meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِماً قَرْضاً مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً

Tak seorang Muslim pun yang memberi hutang kepada seorang Muslim dua kali, kecuali seperti satu kali sedekah.

Nabi saw. pun pernah berhutang.

Sujud Syukur atas Musibah, Bolehkah? Oleh KH.M.Shiddiq Al Jawi

0

*SUJUD SYUKUR ATAS MUSIBAH, BOLEHKAH?*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

*Tanya :*
_Ustadz, boleh nggak kita sujud syukur ketika mendapat musibah? Misalnya gugatan kita di pengadilan dinyatakan kalah oleh hakim, padahal posisi kita secara syariah adalah benar, yaitu kita dinyatakan bersalah hanya karena menjalankan kewajiban dakwah?_ (Faisal Abbas, Jakarta)

*Jawab :*

Pada dasarnya sujud syukur itu disunnahkan ketika seseorang mendapatkan nikmat atau ketika terhindar dari _niqmah_ (musibah). Mendapatkan nikmat, misalnya lulus ujian sarjana, mempunyai anak, mempunyai rumah baru, dan sebagainya. Terhindar dari _niqmah_ (musibah) misalnya terhindar dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit yang berat, lepas dari utang dan riba yang mencekik, dan sebagainya.

Namun demikian, boleh hukumnya sujud syukur dilakukan ketika seseorang mendapat musibah atau cobaan _(ibtilaa`),_ karena beberapa alasan sebagai berikut :

*Pertama,* sujud syukur atas musibah itu menunjukkan sikap bersyukur dan ridha terhadap qadha` Allah atas musibah yang terjadi. Padahal sikap ridha atas musibah secara syariah hukumnya adalah sunnah (mustahab), sebagaimana pendapat Imam Ibnu Taimiyah :

الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب ، وقد قيل : إنه واجب ، والصحيح أن الواجب هو الصبر
“Ridha terhadap musibah seperti kemiskinan, sakit, atau kehinaan, adalah sunnah (mustahab) menurut salah satu dari dua pendapat ulama, bukan wajib. Ada yang mengatakan bahwa ridha atas musibah itu hukumnya wajib. Pendapat yang benar, yang wajib itu adalah bersabar (atas musibah).“  (Ibnu Taimiyyah, _Majmu’ al Fatawa,_ Juz X, hlm. 682).

Jika ridha atas musibah itu hukumnya sunnah (mustahab), maka bersyukur atas musibah hukumnya juga sunnah (mustahab), bahkan lebih tinggi level (maqaam-nya) daripada ridha atas musibah. Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin :

والشكر على المصيبة مستحب لأنه فوق الرضا لأن الشكر رضا وزيادة

“Bersyukur atas musibah itu sunnah (mustahab), karena dia mempunyai kedudukan di atas sikap ridha atas musibah, karena sikap bersyukur itu menunjukkan keridhaan (atas musibah) dan masih ada tambahannya.” (Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, _Syarhul Mumti’,_ Juz V hlm. 395-396).

Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan bahwa terdapat empat _maqam_ (kedudukan) bagi muslim yang ditimpa musibah, yaitu;
(1) *maqamul ‘ajzi* (maqam kelemahan), yaitu maqam untuk muslim yang hanya berkeluh kesah ketika mendapat musibah;
(2) *maqamush shabri* (maqam kesabaran), yaitu maqam untuk muslim yang bersabar ketika mendapat musibah;
(3) *maqamur ridha* (maqam keridhoan), yaitu maqam untuk muslim yang merasa ridho terhadap qadha` Allah atas musibah yang menimpanya;
(4) *maqamusy syukri* (maqam syukur), yaitu maqam untuk muslim yang bersyukur atas musibah yang terjadi. Ibnul Qayyim menjelaskan :

مقام الشكر، وهو أعلى من مقام الرضى ، فانه يشهد البلية نعمة ، فيشكر المبتلي عليها.

“Maqam al syukur, adalah maqam (kedudukan) yang lebih tinggi daripada maqam sabar, karena orang yang ditimpa musibah mempersaksikan musibah sebagai kenikmatan, lalu dia bersyukur atas kenikmatan itu.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, _'Uddat Al Shabirin wa Dzakhirah Al Syakirin,_ hlm. 120).

Sufyan Ats Tsauri (w. 161 H) pernah berkata :

لَيْسَ بِفَقِيهٍ مَنْ لَمْ يَعُدَّ الْبَلاءَ نِعْمَةً، وَالرَّخَاءَ مُصِيبَةً

“Bukanlah orang yang faqiih, siapa saja yang tidak menganggap musibah sebagai nikmat dan siapa saja yang tidak menganggap kelapangan sebagai musibah.” (Ibnu Abi Dunya, _Al Syukr,_ hlm. 30).

*Kedua,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah atau cobaan yang terjadi itu terdapat hikmah yang luar biasa, yaitu dihapuskannya dosa-dosa dari orang yang ditimpa musibah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب، ولا هم ولا حزن، ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه رواه مسلم 
“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu kepayahan, kelelahan, keresahan, kesedihan, gangguan, atau kesulitan, bahkan duri yang mengenainya, kecuali dengan musibah itu Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR Muslim, no 2572).

*Ketiga,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena menjadi pertanda bahwa Allah mencintai orang-orang yang mendapat musibah atau cobaan. Sabda Rasulullah SAW :

إذا أحب الله قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضى ، ومن سخط فله السخط

“Jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan cobaan bagi mereka. Maka barangsiapa yang ridha (terhadap cobaan itu) maka baginya keridhoan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah (atas cobaan itu) maka baginya kemarahan (dari Allah).” (HR Tirmidzi, no 2396).

*Keempat,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah yanag terjadi, khususnya musibah berupa kezaliman yang dilakukan pihak lain, akan menghasilkan nikmat yang besar di Hari Kiamat kelak, yaitu korban kezaliman akan mendapat transferan pahala yang melimpah ruah dari pelaku kezaliman, atau dosa-dosa korban kezaliman akan ditransfer kepada pihak pelaku kezaliman jika pahala pelaku kezaliman sudah habis. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW : 

قال النبيُّ صل الله عليه وسلم لأصحابه: أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ الْمُفْلِسُ، وَلَكِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالَ الْجِبَالِ، وَيَأْتِي وَقَدْ ظَلَمَ هَذَا، وَلَطَمَ هَذَا، وَأَخَذَ مِنْ عِرْضِ هَذَا، فَيَأْخُذُ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ بَقِيَ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَخَذَ مِنْ سَيِّئَاتِهِمْ فَرُدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ صُكَّ لَهُ صَكٌّ إِلَى النَّارِ

Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabatnya,”Tahukah kamu siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab,”Wahai Rasulullah, orang yang bangkrut di tengah-tengah kami adalah siapa saja yang tidak lagi mempunyai dirham dan harta benda.” Rasulullah SAW bersabda,”Yang demikiran itu bukanlah orang yang bangkrut (yang sebenarnya), tetapi orang yang bangkrut (yang sebenarnya) adalah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa pahala-pahala kebaikan sebesar gunung-gunung. Dia datang dalam keadaan demikian, padahal (dulu di dunia) dia telah berbuat kezaliman kepada di Fulan, telah memukul di Fulan, telah menjatuhkan kehormatannya si Fulan. Maka kemudian akan diambil untuk si Fulan ini pahala-pahala kebaikan dari pelaku kezaliman, dan untuk si Fulan itu akan diambil pula pahala kebaikan-kebaikannya yang lain. Dan jika ada suatu (urusan yang belum selesai), maka akan diambil dosa-dosa dari korban kezaliman lalu dipindahkan kepada pelaku kezaliman, kemudian pelaku kezaliman itu dimasukkan ke dalam neraka.”  (HR Muslim no 2581, Tirmidzi no 3418).

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka sujud syukur atas terjadinya musibah adalah boleh dan tidak mengapa, termasuk musibah berupa kezaliman yang ditimpakan pihak lain kepada kita. Bahkan sujud syukur itu menunjukkan _maqam syukur bil qadha`_ (kedudukan bersyukur atas qadha` Allah) yang lebih tinggi levelnya daripada kedudukan bersabar dan ridha atas musibah, _insyaAllah walhamdulillah._

_Wallahu a’lam._

*Jakarta, 8 Mei 2018*

*Muhammad Shiddiq Al Jawi*

HTI Dakwah dengan Cinta

0

Ada seorang kawan dalam sebuah diskusi bertanya apa saja kontribusi HTI selain dakwah?

Saya sampaikan bahwa HTI adalah gerakan islam idiologis, islam landasannya&dakwah aktifitasnya. Apakah hanya dakwah? Saya katakan iya, dakwah secara pemikiran. Dakwah u menyebarkan ide2 islam.

Dakwah yg mampu menggerakkan. Dakwah yg mampu merubah cara berpikir orang. Dakwah sebagai wujud cinta pada islam&umat islam. Dakwah yg semakin mendekatkan umat dengan Robb.

 Karena kewajiban ini didasarkan pd dalil Q.S. Ali Imron (4):104 untuk adanya jamaah/kelompok dakwah yg aktifitasnya hanya 2 :(1)menyeru kepada islam(2)amar ma'ruf nahi mungkar.

Kenapa hanya dakwah?
Iya, dari dakwah inilah Rosulpun mampu menjadikan individu yg kuat imannya sekelas pengusaha Abu Bakar Ash Shiddiq, laki2 yg sangat tegas Umar bin Khothob, pengusaha yg kaya Abbdurrahman bin Auf, diplomat ulung Mus'ab bin Umair.

Yang dr sahabat2 hebat itulah Islam menyebar n mendarahdaging pada tubuh orang2 Mekah&Madinah. Islam menjadi dien yg ditakuti lawan, dan disegani kawan.

Iya hanya dengan dakwah yg mencerahkan pemikiran, shg orang berubah dengannya. Dan punya keiinginan kuat u melaksanakannya, baik dalam diri, ataupun di tengah masyarakat. Baik perubahan hidup, dan kemaslahatan umat.

Langkah inilah yang diteladani oleh HTI dalam mengikuti metode dakwah Rosul Saw, dakwah secara pemikiran.

Adapun terkait dengan adanya anggota HTI yang membangun ponpes, kampus, sekolah, klinik, minimarket dsb adalah amal individu. Ada anggota HTI juga yg berprofesi sbg guru, dosen, nyai, pengusaha, trainer, motivator dll, juga merupakan amal individu. Bukan amal jamaah. Amal jamaahnya ya hanya dakwah pemikiran😊iya hanya dakwah pemikiran saja😊

Randublatung, 8 Mei 2018

#HTICintaIndonesia
#HTILanjutkanPerjuangan

Sabtu, 05 Mei 2018

Menyalahgunakan Kaidah Fikih mengikuti Pemilu oleh KH.M.Shiddiq Al Jawi

0

PENYALAHGUNAAN KAIDAH FIKIH UNTUK MENGIKUTI PEMILU

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Biasanya, menjelang Pemilu akan berseliweran di pelbagai media berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Sebagiannya menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Misalnya kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat, yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan. Maksudnya, keikutsertaan umat dalam Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang, diakui hukum asalnya haram. Pasalnya, Pemilu Legislatif berarti memilih wakil rakyat yang di parlemen akan melegislasi hukum kufur, bukan hukum syariah Islam.

Namun kemudian, ada pertimbangan, Pemilu dalam sistem demokrasi saat ini adalah darurat sehingga akhirnya dibolehkan. Alasannya, kalau tidak memilih (alias golput) akan menimbulkan kemadaratan yang lebih besar, yaitu dominasi orang kafir atau pihak yang tidak menghendaki umat Islam kuat. Sebaliknya, dengan memilih, kemadaratannya lebih kecil. Menurut mereka, ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: Yukhtaru ahwanus-syarrayn(dipilih kemadaratan yang paling ringan dari dua kemadaratan yang ada).

*Kaidah Fikih dan Rambu-rambunya

Kaidah fikih dalam kitab-kitab ushul fikih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Kadang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, atau al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, kaidah fikih adalah :
اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلىَ جُزْئِيَّاتِهِ
Hukum syar’i yang bersifat menyeluruh (kulli) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz’iyat) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/444).
Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fikih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fikih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fikih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fikih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja (Taqiyuddin An-Nabhani, Izalah al-Atribah ‘anil Judzur, hlm. 1-2).

Misalkan kaidah fikih yang berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. (Apa yang tak dapat dijangkau semuanya, tidak ditinggalkan semuanya). Kaidah ini di-istinbath dari sejumlah dalil syar’i yang mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan suatu taklif syariah semaksimal mungkin, di antaranya

sabda Rasulullah saw.:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian (HR Bukhari dan Muslim). (Lihat Iman Abdul Majid Al Hadi, Qa’idah Al-Maysur La Yasquthu bi al-Ma’sur, hlm. 77).

Kaidah ini tak hanya dapat diberlakukan pada satu kasus, tetapi banyak kasus. Misalnya, jika seseorang punya utang Rp 10 juta, tetapi hanya mampu membayar Rp 5 juta, maka tak boleh dia tak membayar utang sama sekali. Dia wajib membayar walau hanya Rp 5 juta.

Contoh lain, jika seorang murid/mahasiswa harus menguasai 10 bab ilmu untuk ujian, sedangkan dia hanya mampu menguasai 7 bab saja, maka dia wajib menguasai yang 7 bab itu. Tidak boleh dia menyerah dan tidak menguasai satu bab pun. Demikian seterusnya.

Meskipun kaidah fikih bukan dalil syar’i (sumber hukum), ia dapat diamalkan seperti halnya dalil syar’I; maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syariah baru. Hanya saja hukum-hukum syariah baru ini bukan hukum syariah yang sama sekali baru, seperti halnya hukum hasil ijtihad, melainkan sekadar cabang hukum dari hukum pokok yang sudah ada (yaitu kaidah fikih itu sendiri).

Jadi pengamalan kaidah fikih hakikatnya adalah mencabangkan hukum syariah, yang diistilahkan at-tafrii’ ‘ala al hukm asy-syar’i oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/443).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pengamalan kaidah fikih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah fikih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nas syariah, sedangkan kaidah fikihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fikih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Jika Qiyas bertentangan dengan nash al-Quran dan as-Sunnah, yang wajib diamalkan adalah nas al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan Qiyasnya dikalahkan dan tidak boleh diamalkan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/449).

*Penyalahgunaan Kaidah Darurat

Tidak dibenarkan menggunakan kaidah darurat untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif.

Alasannya ada dua. Pertama: pengamalan kaidah darurat tersebut tidak sah karena bertentangan dengan nas-nas syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini. Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk memilih anggota parlemen yang tugas utamanya adalah melakukan legislasi.
Legislasi di parlemen haram karena legislasi ini hakikatnya adalah memberikan hak tasyri’(penetapan hukum) kepada selain Allah, sesuai prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja, bukan yang lain (M. Ahmad Mufti, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyyah, hlm. 6 & 38).
Nas-nas syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57).
Karena itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah disebut sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).
Dengan demikian, jelas penggunaan kaidah darurat untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam Pemilu adalah batil. Pasalnya, kaidah darurat merupakan bagian kaidah fikih yang syarat penerapannya tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Kedua: karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidahadh-dharurah tubih al—mahzhurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam pemilu. Darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb).

Contohnya boleh makan bangkai atau minum khamer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia akan terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 84-85). Definisi darurat Imam Suyuthi itu semakna dengan definisi darurat menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu keterpaksaan yang sangat (al-idhthirar al-mulji’) yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483). Jadi definisi darurat itu terbatas pada kondisi yang mengancam jiwa.

Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, X/427).
Dengan demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?
Persoalannya, para masyasyikh muta’akh-khirin (ulama kontemporer) ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, 10/428-429).

Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat akan terancam, meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya.
Padahal definisi darurat yang longgar itu tak dapat diterima. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani definisi itu justru tidak sesuai dengan nash al-Quran yang menjadi sumber atau dasar definisi darurat.

Misalnya, QS al-Baqarah ayat 173 jelas membatasi kondisi darurat hanya pada kondisi yang mengancam jiwa, bukan mengancam hal-hal lain di luar keselamatan jiwa (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483).

*Penyalahgunaan Kaidah Akhaffu Dhararayn

Kaidah Akhaffu Dhararayn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dharar) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini pengertiannya sama dengan kaidahYukhtaru ahwanus-syarrayn yang telah dijelaskan di atas (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, XII/349).
Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu.

Pertama: bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua: bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.
Penggunaan kaidah Akhaffu Dhararayn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secarasyar’i tidak sah karena tidak memenuhi syaratnya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Sudah dijelaskan bahwa banyak nas-nas yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini.

Kedua: pengguna kaidah tersebut terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem yang ada. Diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).

Ketiga: pengguna kaidah tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres (Peraturan Presiden) untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.

*Penyalahgunaan Kaidah Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kulluhu

Kaidah ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali.
Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan.

Pertama: kaidah ini tidak sah untuk diterapkan karena tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Padahal banyak nas-nas syariah yang telah mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.

Kedua: kaidah tersebut hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang haram, seperti legislasi di parlemen saat ini. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa tidak mungkin Nabi saw. memerintahkan kecuali yang halal menurut syariah.
Karena itu, tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk perbuatan yang haram.
Misalnya, kalau tidak bisa k orupsi 1 miliar, korupsi 500 juta saja. Demikian pula tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif. Pasalnya, Pemilu ini akan mengantarkan para wakil rakyat untuk melakukan perbuatan yang haram, yaitu melegislasi UU kufur.
WalLahu a’lam