Jumat, 18 Mei 2018

True Jilbab 2#Mudik,Tantangan Jilbabku

0

Mudik, Tantangan Jilbabku

Menjadi hal yang menyenangkan ketika mudik. Pulang kampung, berkumpul dengan keluarga, orangtua, kakak, keponakan dan kerabat lainnya. Saat yang dinanti-nanti setiap akhir tahun, di akhir ramadhan dan menjelang lebaran.

Meskipun antrian sangat panjang, berdesak-desakan untuk mendapatkan tiket kreta ekonomi yang super murah. Di tahun 2001 harga tiket cuman Rp 45.000,- sudah bisa pulang ke Jawa dari stasiun Jakarta Pasar Senen. Dibandingkan naik bus waktu itu sudah Rp 150.000,-, hampir 3x lipatnya kan, he. Maklum mahasiswa, dengan kondisi uang pas-pasan, bulanannya juga sedikit, sehingga nyari tiket mudik yang super ekonomi.

Ketika dalam kereta, mata para penumpang tertuju pada kami. Iya, waktu itu kami mudik bertiga ke kampung halaman di Kota Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Pertanyaan yang disampaikan salah seorang penumpang, mbak mondok di mana? Jauh amat mondoknya, memang di Jawa Tengah gak ada pondokan? Hampir selalu dapat pertanyaan yang sama dari penumpang lain setiap naik kereka.

Pandangan awal mereka selalu tertuju pada jilbabku. Iya, pakaian yang menurut mereka identik dengan pakaian anak pondokan. Kadang hampir tidak percaya kalau kami menyampaikan, kita kuliah bu, kuliah di Institut Pesantren Bogor, he. Banyak memang yang mengatakan IPB seperti pesantren, julukan dari senior-senior kami juga. Ketika melihat di IPB marak mahasiswa yang aktif ikut pengajian dan banyak juga  pergerakan islam di kampus.

Rasa senang ingin berkumpul dengan keluarga ini, bercampur dengan rasa was-was. Pertama kali pulang dengan pakaian yang tidak biasa. Jilbab yang sudah kupilih sebagai pakaian taat dan penutup aurotku. Di kreta saja sudah ada ujian dengan pertanyaan-pertanyaan seputar jilbabku, bagaimana dengan orangtua dan tetanggaku? Sudahlah, ini kan pilihan hidupku. Jilbaku adalah syariatNya. Alloh pasti menolong urusan hambaNya. Bujuk hatiku agar merasa tenang.

Tantangan jilbabku selanjutnya terjadi lagi. Seperti biasa setiap keluar rumah, motor selalu menjadi angkutan andalan setiap bepergian. Melihat pakaian saya yang dobel-dobel, ibu mulai menegurku. "Nduk klambimu iku opo gak sumuk? (Nduk, bajumu itu apa gak panas ?) Nganggo klambi kok dobel-dobel? (Pakai baju kok dobel-dobel?)" Tanya ibu kepada saya. Ibu melanjutkan nasehatnya : "wislah, pakai wae baju yang biasa mbok pake, ben gak kecantol motor?(sudahlah, pakai saja baju yang biasa dipake (maksudnya celana), biar ga nyangkut di motor)".

Pertanyaan-pertanyaan ini sudah saya duga sebelumnya. Mbak yang ngajari kajian, juga sering berpesan, kalau nanti pulang ke rumah, akan banyak pertanyaan-pertanyaan dari orang tua. Jangan dibantah, sampaikan saja nasehat yang baik untuk orangtua. Bahwa jilbab ini adalah perintah Alloh, syariat untuk menutup aurot bagi muslimah. Butuh proses untuk orangtua saya menerima keputusan saya berjilbab. Karena baru awalan melihat anaknya kok berubah pakaiannya. Saya pun tidak lelah selalu meyakinkan jilbab ini adalah pakaian yang sesuai syariat.

Semakin bertambahnya waktu, semakin mantap diri ini menunaikan syariat berpakaian bagi seorang muslimah. Jilbab yang dalam pandangan saya syar'i dan trendy. Harus menjadi trend juga bagi muslimah lainnya. Bahkan bagi siapapun yang melihatnya.

Sempat suatu waktu silaturahmi di rumah dinas Ibu Camat di Kecamatan Randublatung. Memang waktu itu masih ada beberapa pegawai kecamatan yang ngantor. Ibu yang di kantor tersebut menemui kami, dan menanyakan ingin ketemu siapa mbak? Ada keperluan apa? 1
Maaf mbak, kalau mau minta sumbangan, maaf ya. Kemudian keluar seorang ibu pegawai kecamatan lainnya, yang kebetulan tetangga saya. Mbak mau kepanggih sinten? Bu Camat bu, jawab saya. Kemudia beliau menghantarkan kami ke rumah dinas ibu Camat. Alhamdulillah, batin saya. Untung ada yang dikenal, ternyata jilbabku mengundang persepsi seperti orang yang suka minta sumbangan, he. Sambil senyum-senyum sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar